Paham Pluralisme dan Reduksi Agama
Oleh: Kholili Hasib[1]
Tahun 2005 MUI (Majelis Ulama’ Indoensia) telah
mengeluarkan fatwa bahwa paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme
(Sepilis) haram. Fatwa keluar setelah MUI melakukan kajian dan penelitian
mendalam, bekerjasama dengan berbagai pihak; ormas, lembaga penelitian dan
rekomendasi sejumlah para ulama’. Keputusan ini didukung ormas-ormas Islam,
termasuk ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.
Pada tahun yang sama, Dr. Anis Malik Thoha,
Dosen perbandingan Agama pada International Islamic University Malaysia (IIUM),
menerbitkan buku Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Dr. Anis yang
juga ketua Cabang Istimewa NU Malaysia adalah lulusan terbaik program Doktor
pada International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan. Buku yang ia
tulis merupakan hasil disertasi di IIUI yang mendapatkan penghargaan Gold
Medal. Buku ini berhasil membuktikan secara ilmiah bahwa pluralisme agama
adalah sebuah ‘agama baru’ yang merusak agama. Karena itu harus ditolak.
Meski telah ditolak, kampanye pluralisme masih dipasarkan
oleh sejumlah kalangan cendekiawan liberal melalui media, buku dan
seminar-seminar. Berbagai cara dilakukan. Umumnya dengan cara mengaburkan
definisi pluralisme, mengutip pendapat ulama secara parsial serta
mengkampanyekan ide anti-otoritas – yakni anti terhadap fatwa ulama’. Paham
Sepilis ini dilarang karena memiliki persoalan dalam akidah yang bisa memicu
problem-problem lainnya di masyarakat.
Sementara Jaringan Islam Liberal (JIL) tetap mengkampanyekan
paham haram ini. Pada pertengahan tahun 2009 -- empat tahun setelah dikeluarkan fatwa
haram pluralisme -- terbit buku mendukung pluralisme berjudul "Argumen
Pluralisme Agama", hasil disertasi yang ditulis di UIN Jakarta oleh
Abdul Moqsith Ghazali – aktifis JIL.
Abdul Moqsith Ghazali mengaku kader muda NU.
Pernah mengenyam pendidikan di pesantren Salafiyah Situbondo, -- pesantren yang
didirikan oleh ulama’ kharismatik, KH. As’ad Syamsul ‘Arifin. Menurut salah
seorang ustadz yang pernah mengajar di Pesantren tersebut, pendiri pesantren
sampai saat ini tidak pernah mengajarkan pluralisme atau Islam Liberal.
Disinyalir, pemikiran pluralis Moqsith tumbuh setelah kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Menurut salah satu penguji disertasi Moqsith di
UIN Jakarta, Prof. Dr. Salman Harun, secara metodologis penelitian ini perlu mendapatkan catatan kritis. Moqsith, kata Prof. Salman, tidak jujur
mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dan Ibnu Kastir dalam disertasinya
tersebut.
Dalam penjelasan Prof. Salman, penelitian
disertasi itu telah salah memahami penggalan tafsir Maroh Labid karya
Syeikh Nawawi Al-Jawi tentang bisa-tidaknya non-muslim masuk surga. Sang
penulis disertasi dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir. Menurut Prof. Salman,
dua ulama’ itu disimpulkan oleh Moqsith bahwa hanya Muslim yang masuk surga.
Imam Nawawi al-Bantani sendiri tidak pernah
menulis kesimpulan tersebut dalam kitab tafsirnya. Imam Nawawi al-Bantani dalam
tafsirnya memberi penjelasan yang tuntas mengenai status agama Yahudi dan
Kristen berikut kitab sucinya. Menurutnya, Taurat itu hanya berlaku sampai
diutusnya Nabi Isa as menjadi Nabi. Sedangkan Injil itu berakhir masa
berlakunya sejak Nabi Muhammad SAW menjadi nabi dengan membawa wahyu al-Qur’an
yang berlaku untuk semua umat dan sampai hari kiamat semua bangsa harus
mengimaninya. Syekh al-Bantani tidak mengatakan pengikut Kristen dan Yahudi
masuk surga, justru beliau menyatakan mengikuti wahyu al-Qur’an adalah syarat
untuk menjadi orang yang selamat (Tafsir Mirah Labid jilid I halaman
273). Penjelasan ini tampaknya dilewati oleh buku Argumen Pluralisme Agama.
Buku itu berisi pernyataan-pernyataan pembelaan
terhadap paham pluralisme. Penulis buku, Moqsith, memasukkan data-data untuk
menjustifikasi adanya titik temu agama-agama dengan cara mengutip pernyataan
para ulama’ secara parsial – sebagaimana ia mengutip Syekh Nawawi al-Jawi.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah agama-agama
itu bisa dipertemukan dalam satu titik persamaan? Ketidak jujuran Moqsith
mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dalam tafsirnya merupakan bukti bahwa
ia memaksakan pertemuan teologi agama-agama. Jika ditelaah, gagasan mempertemukan
teologi agama-agama adalah rancu.
Dalam wacana titik temu agama-agama, ada dua
istilah yang sering dikaburkan dan disalah artikan. Kedua istilah itu --
pluralitas dan pluralisme agama -- kadang kala dilebur maknanya atau dikaburkan
sehingga kemudian berubah menjadi satu bangunan makna. Persoalan lain yang
perlu dipertanyakan adalah belum adanya penjelasan yang tuntas bagaimana konsep
mengakumulasikan beraneka ragam titik agama itu menjadi satu titik yang menurut
Frithjon Schuon -- tokoh pluralisme agama --
adalah titik “Yang Mutlak”. Yakni ada Tuhan Yang Mutlak di atas Tuhan
Allah.
Pertama-tama, yang perlu dipahamkan adalah
makna pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas adalah suatu kondisi
kehidupan sosial dengan aneka ragam wujud agama dalam masyarakat atau negara.
Kondisi ini adalah alami atau sunnatullah. Sepanjang sejarah manusia,
pasti ditemukan beberapa agama, aliran atau isme yang berbeda-beda.
Sedangkan pluralisme adalah suatu paham yang
lahir dari peradaban Barat yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama
memiliki nilai kebenaran, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar sedangkan agama lain salah.
Dari penjelasan singkat tersebut, tampak jelas
perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah
bagian dari fenomena sosial yang dapat diakomodasi, sedangkan pluralisme agama
adalah paham yang meyakini semua agama benar dimana akar paham ini berasal dari Barat pada abad
ke-15 – yaitu gerakan kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi agama
Kristen, dan mengkritisinya adalah wajib.
Pernyataan bahwa pluralisme itu adalah realita sunatullah
– yang harus dibiarkan – merupakan pengeliruan istilah. Seperti ditulis oleh Ahmad
Sofyan dalam buku “Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam” mengutip
pendapat Cak Nur: ”Pluralisme, dengan demikian, merupakan sunatullah
yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari".
Kesalahan mendasar kalimat tersebut adalah
menyamakan definisi pluralitas dengan pluralisme agama. Atas dasar definisi
yang keliru itu, pluralisme kemudian dianggap tidak dapat dilawan dan
diingkari. Pendapat itu pernah ditulis oleh Sukidi di Koran Jawa Pos tanggal 11
Januari 2006 dengan mengatakan: “Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh)
yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan
menghindari”. Padahal pluralisme itu adalah ideologi yang lahir dari pandangan
hidup Barat. Ideologi ini lahir dari masyarakat yang memusuhi agama. Menolak
ideologi ini merupakan keharusan, karena mereduksi agama-agama. Meyakini bahwa
pluralisme adalah sunnatullah merupakan pernyataan apologis yang tidak
epistemologis.
Dalam konsep Islam, pluralitas diakui. Islam
mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, namun tidak berarti semuanya
dibenarkan dan sah. Surat Al-Kafirun memberi pemahaman bahwa bermacam agama itu
berbeda, tidak semua benar. Maka tidak boleh mencampurkan peribadatannya. Tapi,
surat itu mengandung konsep toleransi. Islam membiarkan agama lain menjalankan
ritual agama – selama tidak mengganggu agama Islam – namun tidak mentolelir
persamaan agama.
Toleransi dalam konsepsi Islam tidak sampai mereduksi
aspek akidah. Islam itu toleran tanpa harus menjadi pluralis. Kekeliruan Islam
Liberal adalah bahwa kerukunan hanya dapat berkembang jika umat berteologi
pluralis. Budhy Munawar Rahman, tokoh Liberal, dalam situs www.islamlib.com tahun 2000 menulis:
… ”bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut
- dan mengembangkan – teologi pluralis atau teologi inklusif”.
Islam cukup objektif melihat keberagamaan umat
manusia. Sebagaimana dijabarkan dalam
ayat-ayat Al-Qur'an Islam banyak
mengoreksi dan mengkritik agama-agama terdahulu yang telah menyimpang dari al-din
al-fitrah/al-din al-hafnif (ajaran Tauhid). Hal itu dapat dilihat
dalam QS. Al-Ma'idah ayat 17, 72 dan 73. Secara teologis Islam bersifat
eksklusif dalam arti Islam itu meyakini bahwa agama Islam saja yang diridhai
Allah bukan agama-agama lainnya, serta tidak membenarkan agama-agama lain
selain Islam seperti tersebut dalam QS. Ali Imran ayat 19 dan 85.
Tapi, eksklusifitas Islam tidak serta merta
menghalangi berinteraksi dengan penganut agama lain. Dalam tataran sosial
kemasyarakatan Islam terbuka (inklusif) berkehidupan dengan penganut agama
lain. Berkenalan dan bekerja sama dalam bisnis diberkenankan. Dengan demikian
sifat inklusif (terbukan) di sini tidak bermakna inklusifisme.
Surat al-Mumtahanah menjelaskan "Tidaklah
Allah melarang kamu untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak
memberangi kamu pada agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman kamu,
sebab Allah suka kepada orang-orang yang berbuat adil. Hak-hak kafir dzimmi
dijamin oleh Islam. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menyakiti
seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa
menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah” (HR. Thabrani). Dalam beberapa
riwayat, disebutkan Rasulullah saw berdagang dengan orang kafir.
Sebagaimana tercantum dalam surat al-Kafirun,
dalam tataran teologi, Islam bersifat eksklusif. Tapi sangat membuka pintu
toleransi beragama, berinteraksi dan bermuamalah (inklusif). Artinya, Islam
adalah ekslusif sekaligus inklusif.
Kesimpulannya, ranah teologi Islam tidak
mungkin dipaksakan menjadi inklusif. Teologi Inklusif - yang pernah diwacanakan
oleh Nurcholis Madjid – tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Hampir mirip
dengan teologi inklusifnya Cak Nur, terdapat teori Transendent Unity of Religion –
yaitu aliran pluralisme dengan cita-cita mempertemukan agama-agama pada titik
esoterik. Penggagasnya adalah Rene Guenon, Fritjhof Schuon dan Syed Hussein
Nasr. Wacana ini juga menyemarakkan tren-tren penganut pluralisme.
Menurut Frithjof Schuon – penggagas teori Transendent
Unity of Religion – tiap agama-agama di dunia memiliki unsur
eksoterik dan esoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal, formal, hukum,
dogmatis, ritual, etika dan moral. Level ini melingkupi aspek peribadatan dan
tata cara menyembah Tuhan. Unsur kedua, esoterik, adalah aspek metafisis dan
dimensi internal agama. Pada level inilah kata Schuon dan Rene Guenon
agama-agama bisa bertemu menuju satu titik Tuhan.
Satu Tuhan banyak nama. Demikianlah kira-kira
konsep Schuon. Tuhan agama-agama di dunia hakikatnya sama, yang berbeda adalah
pemberian nama tiap agama. Tuhan Islam bernama Allah, Yahudi menyebut Yahweh,
meski berbeda, Dzat Mutlak itu katanya satu.
Gagasan Frithjof Schuon tersebut bermasalah.
Kenyataannya perbedaan itu tidak hanya pada level eksoterik, pada tingkat
esoterik pun terdapat perbedaan di antara masing-masing agama. Konsep
ke-Tuhan-an umat Islam (Allah) tentu amat jauh berbeda dengan Tuhan Kristen,
Hindu, Budha, dan Konghucu atau agama-agama lainnya. Kritik Al-Qur'an terhadap
agama Yahudi dan Nasrani bahkan tidak hanya pada ranah eksoterik, malah,
Al-Qur'an banyak mengkritik agama tersebut pada level esoteriknya. Andaikan
sama, Islam tentu tidak akan menggugat ketuhanan agama-agama syirik tersebut.
Dan Rasulullah SAW tidak perlu mengirim surat mengajak Islam kepada Raja
Heraklius.
Masing-masing agama memiliki kosepsi ketuhanan
yang bersifat eksklusif, yang mustahil dicarikan kesamaan atau dipertemukan.
Karena berbeda itulah, maka Islam kemudian mengajak kepada para pemeluk agama
lain agar bersama-sama berdiri dalam kalimat al-sawa' – yaitu dengan
melepas baju-baju syirik untuk kembali kepada agama Tauhid, menyembah Allah
sebagai satu-satunya Tuhan, bukan malah menyatukan atau membenarkan semua
agama-agama. Membenarkan semua agama dan meyakini pluralisme agama itu realitas
yang harus dibiarkan – dengan alasan sebagai sunnatullah – merupakan kerancuan yang sangat mendasar.
Pluralisme Bukan Toleransi
Pluralisme juga
biasa dimaknai oleh kaum Liberal dengan toleransi. Memang pluralisme asal
mulanya dimaknai toleransi. Tapi itu setengah abad yang lalu. Dalam Oxford
Advanced Learners’s Dictionary of Current English, yang terbit tahun 1948,
pluralisme itu memang pernah dimaknai toleransi. Akan tetapi sekarang,
pluralisme itu berarti relativisme. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana
tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya (lihat
Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn,1995). Definisi ini telah
baku (telah menjadi technical term) di kalangan penulis Barat sekalipun.
Kita dapat
memahami technical term ini dari tokoh penggagas paham pluralisme Agama,
John Hick. Hick mengatakan bahwa doktrin pluralisme mengajarkan bahwa
agama-agama besar di dunia adalah penampilan-penampilan atau penampakan yang
beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Secara sederhana dapat
dikatakan, Tuhan semua agama itu sama dan satu, tapi itu direspon atau
dipersepsi secara berbeda-beda oleh tiap agama. Tidak ada yang salah dalam
respon dan persepsi tersebut (lihat John Hick Tuhan Punya Banyak Nama,
hal. 106).
Penganjur
pluralisme dan sosiolog asal Amerika Serikat, Diana L. Eck, sendiri mengatakan
bahwa “pluralism is just not tolerance” (pluralisme itu bukan sekadar
toleransi). Bahkan Diana dalam tulisannya From Diversity to Pluralism menyindir
bahwa toleransi dalam pluralisme itu merupakan ‘kebaikan’ yang menipu (but
tolerance by itserf my be a deceptive virtue). Dengan demikian, anggapan
bahwa pluralisme itu toleransi atau keragaman belaka, merupakan anggapan tidak
tepat.
Berpijak pada
pemahaman tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pluralisme agama itu merusak
agama-agama. Aliran Pluralisme ini berpaham relativisme, bukan toleransi. Dalam
doktrin pluralisme, dilarang keras mengatakan bahwa ajaran agama lain
menyimpang dan salah. Respon pendukung pluralism juga cenderung curiga terhadap
doktrin agama dan emosional dalam menyikapi fatwa para ulama’. Contohnya respon
emosional pengusung pluralisme agama terhadap fatwa haram MUI pada tahun 2005
lalu terhadap haramnya pluralisme, liberalisme dan sekularisme. MUI dihujat
bahkan diantara mereka mengeluarkan kata-kata tidak sopan terhadap MUI.
Ini menunjukkan
inkonsistensi paham pluralisme agama. Ternyata ia intoleran dan bisa cenderung
eksklusif. Slogan inklusif dan toleran ternyata hanya manis di mulut tapi,
dalam realita sosial tidak semanis di mulut. Ada semangat membara dalam paham
ini untuk mendiskualifikasi agama dari doktrin orisinilnya. Dr. Anis Malik
Thoha, pakar pluralisme dari IIUM (International Islamic University Malaysia), mengatakan bahwa karakter
pluralisme itu ada lima; yaitu, mengajarkan kesetaraan atau persamaan (equality),
liberalisme atau kebebasan, relativisme, reduksionisme dan eksklusivisme.
Karena sifatnya mendiskualifikasi tersebut, paham ini merusak agama-agama, dan
mencabut doktrin dari akar-akarnya.
Paham ini
sering menyugughkan dirinya sebagai ajaran yang ‘tampak’ ramah dan menghormati
keberbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada
hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan
menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan. Ketika paham ini
mendeklarasikan diri dan mengklaim sebagai pemberi tafsir atau teori tentang
kemajemukan agama-agama yang absolute benar, bahwa semua agama sama. “Jadi
sesungguhnya ia telah merampas dan melucuti agama-agama dari doktrin orisinil
dan absolutnya. Selanjutnya absolutnya dimonopoli sendiri oleh paham pluralisme
agama.
Pluralisme
kerap memposisikan sebagai pemain baru yang egois. Tidak peduli dengan hak-hak
tiap agama untuk melaksankannya secara benar. Dr. Anis menilai, Pluralisme
ingin menjadi ‘wasit’ di antara agama-agama, tapi yang terjadi ia mendadak
menjadi pemain baru yang cukup radikal ‘menendang’ agama-agama. Umat Islam
tidak boleh mendakwahkan bahwa hanya Tuhannya yang benar yang lain salah. Kaum
Muslimin juga berusaha dirampas hak berkeyakinannya untuk mempercayai bahwa
hanya melalui iman kepada Nabi Muhammad manusia bisa selamat di akhirat.
Problem Terminologi ‘Agama Samawi’
Selain
kerancuan istilah pluralitas dan pluralisme, penggunaan istilah ‘agama samawi’
atau ‘agama Ibrahim’ (abrahamic faiths) juga menjadi media pluralisasi pemikiran.
Sudah lama beredar pemahaman di kalangan masyarakat, bahwa agama Yahudi dan Kristen
termasuk agama samawi – agama yang turun dari Allah. Beberapa buku pelajaran
Pendidikan Agama Islam untuk sekolah menengah bahkan ada yang mengajarkan hal
demikian. Logikanya, jika dua agama tersebut adalah agama samawi, maka dua
agama tersebut adalah agama wahyu. Karena agama wahyu, maka memiliki kebenaran
yang sama dengan Islam.
Pemahaman
tersebut perlu diluruskan. Sebab bisa menggiring kepada ideologi relativisme
beragama. Kaum pluralis beralasan, mereka (Yahudi dan Kristen) termasuk agama samawi, dan agama yang
memiliki ‘sanad’ dengan Nabi Ibrahim. Alasan yang mereka kemukakan,
Yahudi-Kristen memiliki akar yang sama dengan Islam. Yaitu sama-sama bermuara
kepada agama Nabi Ibrahim. Sehingga perbedaan antara Islam dan Yahudi-Kristen
adalah seperti bukan perbedaan prinsip tapi furu’iyah. Ini kekeliruan
epsitemologis, sebab perbedaan mendasar (ushuliyah) dinilai sebagai furu’iyah.
Para penganut paham
pluralisme agama berpendapat, perbedaan tajam ritual keagamaan di antara mereka
itu bukanlah persoalan fundamental, sebab secara konseptual, teologi ketiga
agama semitik ini, menurut mereka, adalah sama, yakni sama-sama bersumber dari
ajaran Nabi Ibrahim. Persoalannya adalah, jika teologinya diasumsikan bersumber
dari ajaran yang sama, kenapa dalam kenyatannya perbedaannya cukup tajam. Ada
yang meyakini Tuhan itu tiga, sedang yang lain mengimani Tuhan itu hanya satu.
Ini perbedaan yang tidak mungkin disamakan. Dan mustahil juga berasal dari
sumber yang sama.
Inilah inti
dari teori the abrahamic faiths (agama-agama Abraham) yang menjadi salah
satu agenda dalam kampanye liberalisasi agama dan sedang diwacanakan serta dikembangkan
kaum liberal untuk menjustifikasi bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam secara
teologis tidak berbeda secara prinsip.
Bagi sebagian
orang, istilah ini kedengarannya baru. Namun sebenarnya, term ini di kalangan
pemerhati pemikiran sudah populer sejak tahun tujuh puluhan. Yakni, ketika
Akademi Agama-Agama Amerika mengadakan konferensi yang dihadiri tokoh-tokoh
besar dunia dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam di New York pada 1979. Sejak
itulah, term ini bergulir dan terus diwacanakan.
Teori abrahamic
faiths ini mendasarkan pada dua asumsi. Pertama, asumsi historis
(kesejarahan), dan kedua, asumsi teologis (ketuhanan). Secara historis,
agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bermuara kepada sosok Nabi Ibrahim. Karena,
dari anak-anak Nabi Ibrahim inilah agama-agama tersebut lahir. Nabi Ishak, anak
Nabi Ibrahim menurunkan bani Israel. Dari nabi-nabi keturunan bani Israel
inilah melahirkan agama Yahudi dan Kristen. Sedangkan agama Islam, dibawa oleh
Nabi Muhammad, jalur nasabnya bersambung kepada anak Nabi Ibrahim yang bernama
Nabi Isma’il.
Sedangkan
secara teologis, mereka berasumsi bahwa Dzat Tuhan ketiga agama Yahudi,
Kristen, dan Islam adalah sama – meskipun terdapat perbedaan penyebutan Tuhan.
Tuhan Yahweh (Tuhan agama Yahudi), Yesus (Kristen), dan Allah (Islam), adalah
tuhan-tuhan yang disembah oleh Nabi Ibrahim.
Asumsi-asumsi
tersebut tentunya tidaklah benar dan rancu. Nabi Musa serta nabi-nabi dari bani
Israel lainnya tidak pernah menyebut agamanya dengan nama Yahudi. Yahudi adalah
nama bangsa dimana Nabi Musa berdakwah untuk bangsa tersebut. Agama Nabi Musa
dan nabi-nabi sebelumnya bukan Yahudi. Begitu pula Nabi Isa, selama hidupnya
tidak mengenalkan kepada kaumnya bahwa agama yang dibawa adalah agama Kristen.
Sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Quran surat al-Anbiya’: 25 bahwa agama yang diturunkan
Allah kepada para nabi dan rasul pada dasarnya adalah satu. Allah tidak pernah
menurunkan dua atau tiga agama berbeda. Dan Allah tidak memaksudkan
keterputusan total atau penggantian agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi baru.
Agama para nabi
itu oleh Al-Quran disebut agama Tauhid, din al-Fitrah, atau din
al-Qayyim. Secara esensial nama-nama tersebut menandakan nama Islam. Sebab
antara din al-fitrah atau din al-Qayyim dengan agama Islam itu
esensinya mengajarkan tiga hal pokok, yaitu mengajak menyembah kepada Allah
tanpa menyekutukannya, menegaskan kebenaran yang telah diajarkan oleh para nabi
terdahulu, serta menegaskan kebenaran final ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW.
Al-Quran bahkan
menyebut Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, dan nabi-nabi bani Israel lainnya dengan
sebutan Muslim (lihat QS. Yunus 71-72 ,Yunus: 84, Ali Imran: 67, al-Naml: 44,
dan Ali Imran: 52). Maka, meskipun Allah tidak memberi nama agama para nabi
sebelum Nabi Muhammad saw itu dengan nama Islam, tapi Ibnu Taimiyah dalam “al-Jawab
al-Shahih liman Baddala din al-Masih” menyebut agama para nabi tersebut
dengan al-Islam al-‘aam. Esensi doktrin teologinya sama, namun yang
berbeda adalah syari’ah – yang kemudian disempurnakan oleh agama Islam.
Agama Yahudi
dan Kristen tidaklah pernah dikenal oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Dua
agama tersebut bukanlah samawi, akan tetapi bisa disebut agama budaya. Doktrin
utama agama Yahudi saat ini, menurut Prof. Dr. Muhammad al-Syarqawi, peneliti
dan pakar kitab Talmud dari Universitas Kairo, bermula saat setelah ditulis
kitab Torakh (Perjanjian Lama) dan Talmud oleh para murid nabi Musa dan
orang-orang setelahnya.
Menurut
as-Syarqawi, ajaran-ajaran agama Yahudi banyak yang bersumber dari Talmud yang
bermuatan ajaran-ajaran pagan, rasialis, dan penuh hinaan kepada umat-umat
lain. Bahkan seorang pemuka Yahudi, Rabi Rotski, mengakui bahwa kitab Talmud
itu tidak ditulis oleh Nabi Musa, akan tetapi oleh para rabi-rabi Yahudi (lihat
“Kitab Israil al-Aswad” karya Muhammad al-Syarqawi).
Dzat Tuhan
Yahweh (Tuhan agama Yahudi) tidak mungkin disamakan dengan Tuhan Allah. Ahmad
Syalabi, pakar perbandingan agama, mengatakan bahwa tradisi penyembahan agama
Yahudi dipengaruhi oleh bangsa Kan’an – yaitu bangsa yang dahulu mendiami
wilayah Palestina. Nama Yahweh, menurut beberapa pakar sejarah Barat sendiri
adalah nama yang berasal dari luar tradisi Yudaisme. Nama itu konon, berasal
dari tradisi paganisme kaum Median dan Kan’an – yakni bangsa penyembah berhala
sebelum kedatangan Nabi Musa.
Ketika mendiami
wilayah mereka, bangsa Israel banyak meniru tradisi budaya bangsa Median,
termasuk tradisi keagamaannya. Para pakar lainnya, seperti Harold Bloom,
Freedman, dan Abbas Mahmud al-Aqqad mengamini bahwa nama Yahweh adalah misteri,
bersifat dugaan, dan tidak diketahui secara pasti apakah itu nama Tuhan Nabi
Musa atau tidak.
Ada yang
menyebut, ia berasal dari bahasa Arab Ya Hu (wahai Dia). Pendapat ini
pun belum bisa diverifikasi secara ilmiah. Karena tidak jelas, maka orang-orang
Yahudi menulis Yahweh dengan simbol YHWH – yang bermakna nama itu tidak pernah
diucapkan dengan jelas dalam tradisi peribadatan Yahudi. Dengan demikian,
sebenarnya Yahweh itu bukanlah Allah, dan ini berarti pula bahwa monoteisme
Yahudi berbeda dengan monoteisme Islam.
Sedangkan
Kristen, adalah sebuah nama yang dideklarasikan oleh Paulus di kota Antiokhia
(sekarang wilayah Turki). Nabi Isa tidak pernah mengenalkan nama Kristos atau
menyebut dirinya anak Tuhan. Kristen adalah agama yang bangunan dasar
teologinya didirikan oleh Paulusus, seorang Yahudi yang mengaku-ngaku Rasul.
Tepatnya sekitar enampuluh tahunan setelah keghaiban Nabi Isa, terjadi
penyimpangan, hingga datanglah Paus yang memberi nama pengikutnya dengan nama
Kristen.
Kesimpulan dari
data itu menyatakan bahwa Kristen adalah agama budaya, bukan agama samawi.
Sehingga wajar bila pondasi teologinya selalu berkembang bermetamorfosis.
Seperti konsep trinitas yang disahkan melalui konsili Nicea, tidak melalui
wahyu. Sehingga sarjana-sarjana Barat sendiri mengakui hal itu. Michael H.
Hart, teolog Kristen asal AS mengatakan bahwa yang mendirikan Kristen itu
bukanlah Yesus, tapi Paulus.
Hart
berpendapat demikian karena dia yakin bahwa Pauluslah yang menciptakan konsep
trinitas – yaitu konsep yang sangat bertentangan dengan konsep monoteisme yang
diajarkan Nabi Isa. Huston Smith dalam The Religions of Man juga
menyimpulkan hal yang sama, bahwa Kristen adalah agama budaya.
Dengan
demikian, klaim bahwa agama Yahudi dan Kristen bersumber dari Yahudi adakah
tidak betul. Secara ideologis, sangat jauh berbeda dengan teologi Nabi Ibrahim
yang berkonsep Tauhid. Maka, Islam tidak bisa disejajarkan dengan
Yahudi-Kristen sebagai satu kelompok agama abrahamic.
Islam
satu-satunya pewaris ajaran Nabi Ibrahim dan satu-satunya agama samawi.
Penggunaan term abrahamic faiths tidaklah tepat ditujukan kepada ketiga
agama. Karena, agama Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya cuma satu, yaitu agama
tauhid, sebagaiman yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Yang berbeda hanya
syari’atnya. Adapaun Kristen dan Yahudi bukan agama tauhid, tapi lebih tepat
disebut agama budaya.[]
0 comments:
Post a Comment