Sudah lama ku tunggu, balasan surat ku. seorang kawan yang sudah lama tak bertemu, hanya sekedar obat rindu.
Assalamualaikum,
Hei cak, piye kabare? Semoga baik-baik saja
dan tidak kurang satu apapun. Aku disini baik-baik saja, sehat wal afiat.
Keluargaku juga semuanya baik. Semoga keluargamu juga demikian.
Aku saat ini tidak sedang sibuk melakukan apa
pun, karenanya aku ingin minta maaf karena baru sempat membalas suratmu yang
lalu. Entah kenapa selalu saja ada alasan yang membuatku menunda menulis surat
balasan buatmu.
Senang rasanya melihat fotomu saat memakai
toga kemarin lalu. Akhirnya perjuanganmu selama empatsetengah tahun terbayar
sudah. Ada sedikit rasa sedih karena aku tak punya lagi kesempatan untuk
memakai toga dan diwisuda di tempat yang sama. Tapi aku turut merasa bahagia
bagi semua yang diwisuda saat itu. Semoga Allah mempermudah semuanya buatmu
setelah terlampauinya fase mahasiswa.
Maafkan aku karena tidak sempat menghadiri
wisudamu. Sudah kuniatkan padahal, tapi barangkali memang kita belum berjodoh
untuk bertemu secara fisik. Usai program kemarin, rencananya aku akan membeli
tiket kereta dari Jakarta ke Surabaya untuk menemuimu, lalu tinggal beberapa
hari di Surabaya sebelum akhirnya pulang ke NTB. Yang tidak kuantisipasi,
Kemenpora ternyata sudah menyiapkan tiket pulang ke provinsi asal masing
–masing peserta.
Mengenai permintaanmu untuk dikenalkan dengan
salah satu teman Kanadaku, aku masih mencari teman yang tepat untuk itu.
kebanyakan mereka tidak terlalu senang berdiskusi tentang sejarah pendahulu
mereka. Di samping mereka juga tidak terlalu nyaman berinteraksi dengan orang
yang tidak mereka kenal. Entahlah, barangkali mereka mengidap semacam rasa
takut berlebih terhadap orang asing atau rasa tidak aman berlebih atas diri
mereka sendiri. Sepengamatanku, perasaan seperti itu cukup umum di kalangan
masayarakat negara maju.
Hei, kenapa tidak kau ceritakan saja padaku
tentang isi buku itu? Mungkin aku bisa urun memberi pandangan. Ceritakan juga tentang
rencanamu ke depan setelah kuliah? Aku akan dengan senang hati membacanya.
Aku sendiri saat ini masih belum pasti. Ada
keinginan untuk kembali ke bangku kuliah. Entahlah, mungkin mengambil Sosiologi
atau sastra Perancis. Aku mulai tertarik pada sastra perancis sejak berteman
dengan anak-anak Kanada yang berbaha Perancis. Bahasa mereka menarik untuk
dipelajari sekaligus enak didengarkan. Tapi seminggu dua yang lalu, seorang
teman juga menawariku bekerja di koran Lombok Post. Kupikir tawaran itu bagus
juga, setelah bekerja setahun atau dua tahun aku bisa mengajukan beasiswa untuk
sebuah program belajar di Amerika. Program itu serupa AMINEF kecuali yang
diutamakan mereka yang memegang ijasah SMA.
Aku saat ini sedang berusaha merintis
perpustakaan umumku sendiri. Projek ini sebenarnya bagian dari aktivitas pasca
program yang kemarin tapi sekaligus mimpiku sejak dulu. Tidak gampang ternyata,
selain masalah dana dan lain-lain, aku juga belum punya tim yang punya visi
yang sama denganku. Tapi kupikir, pasti akan ada jalan. Kalau kau tau lembaga
yang mendonasikan buku atau dana atau apa pun yang berkaitan dengan projekku,
tolong kabari aku.
Aku ingin cerita tentang fase kedua programku
kemarin. Selama dua bulan sejak pertengahan Januari, aku dan grupku tinggal di
sebuah pulau kecil di Kepualaun seribu, Pulau Kelapa namanya. Jangan bayangkan
banyak pohon kelapa di sana, hampir-hampir tidak ada sama sekali. Nama itu
diambil karena dulu sewaktu jaman Jepang (atau Belanda?) pernah ada pabrik
kopra di sana. Pulau Kelapa kecil sekali, dia tidak lebih besar dari kampus ITS
Sukolilo. Tapi yang menarik, pulau kecil itu ditinggali oleh lebih dari 6 ribu
orang. Mereka hidup berdesak-desakan.
Pulau Kelapa hampir-hampir tidak terlihat
seperti pulau layak huni. Terlalu banyak sampah, terlalu banyak tikus, terlalu
banyak orang. Bayangkan, jalanan paling besar saja hanya selebar satusetengah
meter. Berjalan 50 meter saja, kau akan sudah diinterupsi oleh setidaknya lima
ekor tikus. Pulau itu serupa setting tempat yang sengaja didramatisir untuk
pembuatan sebuah film.
Yang mengejutkan, walaupun hanya berjarak tiga
jam tempuh dari ibukota negara, perjalanan ke sana serupa perjalanan kembali
pada masa 15 atau 20 tahun yang lalu. masyarakatnya masih sangat tradisional.
Ketika anak-anak Kanada pertama tiba di pulau, mereka dipanggil ‘Belanda’ .
Mereka masih mengasosiasikan orang-orang kulit putih dengan Belanda. Lucu
memikirkan itu, karena faktanya kita sudah cukup lama merdeka dari Belanda,
ditambah lagi kita hidup di era seperti sekarang ini dimana internet dan
televisi bukan barang mewah lagi dan, sekali lagi, mereka tinggal hanya tiga
jam dari Jakarta. Laut rupanya sudah mengurung dan megasingkan mereka dari
peradaban.
Mereka percaya tahayul lebih dari komunitas
manapun yang pernah kutinggali. Hari-hari pertama kami di sana, kami sudah
diperingatkan dengan cukup keras untuk tidak pergi ke tempat ini atau atau
lewat jalan itu, karena kalau kami kesana maka penunggu ini dan itu akan marah
dan menggangu. Mereka masih percaya bahwa tidak boleh foto bertiga, karena yang
tengah akan segera mati. Mereka lebih takut pocong dan tuyul ketimbang perampok
dan pencuri. Mereka percaya bahwa ketika kau jatuh dan berdarah tidak perlu ke
dokter, cukup diobati dengan terasi. Hampir-hampir kupikir itu semua candaan
yang sedang tren di pulau. Sayangnya tidak.
Ada sebuah pulau di sebelah barat pulau
Kelapa, Pulau Panjang namanya. Beberapa tahun lalu, pemerintah kepulauan seribu
membangun landasan pacu untuk pesawat-pesawat kecil, tapi tidak selesai. Kata
orang pembangunan dihentikan karena pulau tersebut angker. Memang ada sebuah
kuburan di sisi luar pulau. Sebelum kuceritakan tentang penghentian pembangunan
tersebut, akan kuceritakan dulu tentang kuburan keramat ini.
Beberapa tahun lalu, barangkali belasan tahun
lalu, di tepi pantai ditemukan sebuah tengkorak. Oleh masyarakat pulau,
tengkorak itu lalu dikuburkan tanpa diusut bagaimana ia bisa sampai di situ.
Beberapa malam setelahnya, seorang penduduk bermimpi didatangi pemilik
tengkorak yang meminta kuburannya dikeramatkan. Konon, pemilik tengkorak
tersebut adalah seorang sakti madraguna dari tanah Banten. Konon pula, si orang
sakti ini juga dimakamkan di Banten dengan badan dan kepala yang utuh, sehingga
bila digabungkan dengan tengkorak yang ditemukan di Pulau Panjang, orang sakti
ini setidaknya punya dua buah kepala. Tanpa perlu konsensus apa-apa,
orang-orang seisi pulau serta merta percaya mimpi ini.
Sulit membayangkan tidak satu orangpun yang
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Bagaimana mungkin kita bisa
percaya pada mimpi satu orang? Bagaimana jika si pemimpi berbohong atau sedang
linglung? Kalaupun dia memang bermimpi demikian bagaimana mungkin ada orang
dengan dua kepala? Bagaimana kalau jangan-jangan tengkorak itu hanya tengkorak
nelayan biasa yang tenggelam bertahun tahun lalu? atau justru bukan tengkorak
manusia sama sekali melainkan milik orangutan yang disapu ombak dari Kalimantan?”
Bagaimana mungkin mimpi satu orang jadi dasar
kepercayaan ribuan orang dan tidak ada satupun yang merasa perlu menggugatnya?
...
Kembali ke masalah pembangunan landasan pacu.
Menurut cerita beberapa orang yang mendengar cerita dari orang lain yang entah
mendapat cerita dari mana, pada suatu malam ketika proyek masih berjalan
sekonyong-konyong terjadi gempa lokal hebat di pulau itu. Gempa yang membuat
alat-alat berat bergetar tapi anehnya hanya terjadi di pulau tersebut. Pulau
kelapa yang hanya berjarak kurang dari 100 meter tidak merasakannya sama
sekali. Dan yes, pembangunan tiba-tiba dihentikan. Makam keramat tidak
meyetujui pembangunan landasan pacu tersebut. orang-orang berhenti ke pulau
Panjang.
Karena cerita itu terlalu menggelikan untuk
dipercaya, maka aku putuskan melakukan riset sendiri. Ternyata pembangunan
landasan pacu tersebut dihentikan karena kehabisan dana. Dana yang sedianya
digunakan untuk pembangunan dikorupsi oleh wakil bupati Kepulauan Seribu. Wakil
bupati tersebut sekarang sudah menjadi tahanan KPK. Kesimpulanku, cerita gempa
lokal mistis yang terjadi sengaja dibuat untuk membuat masyaraka diam dan tidak
bertanya. Mereka tidak perlu bertanya karena penjelasan tentang makam keramat
yang tidak merestui pembangunan sudah paling masuk akal. Cerdas sekali.
Masih banyak lagi cerita tentang begu ini dan
mbah itu yang mendiami tempat-tempat angker di pulau dan sudah mencelakakan
banyak orang. Kalau kuceritakan semua, suratku ini hanya akan berisi tentang
hal-hal itu.
Satu hal lagi yang menarik dari pulau ini
adalah umur menikah bagi masyarakatnya. Sangat umum melihat gadis berumur 15
tahun menikah dengan pria 17 tahun. Aku kenal Sobir, pemuda lokal di RW sebelah
yang umurnya baru 21 tapi sudah punya anak satu berumur tiga. Atau Anggun yang
baru 19 tahun tapi sudah punya anak dari pernikahannya dengan seorang kakek.
Kupikir masalah utama pulau ini adalah
pendidikan. Pendidikan bukan opsi utama yang akan dipilih masyarakat pulau
Kelapa. Barangkali pikir mereka, ketimbang kuliah jauh-jauh ke jakarta
mendingan bekerja jadi nelayan, syukur-syukur bisa jadi pelayan di resort
wisata pulau seberang. Memikirkan itu kadang membuatku merasa sedih.
Masih banyak hal yang ingin kuceritakan
sebenarnya, misalnya tentang aku dan dua orang temanku yang diancam bunuh oleh
seorang polisi hutan. Tapi rasa-rasanya suratku sudah terlalu panjang, aku
takut kau bosan membacanya. Kalau ada kesempatan akan kulanjutkan lain waktu.
Balaslah surat ini. aku akan sangat senang
mendengar kabar darimu.
Ihram Hamzah
Barangkali malam Jumat.
0 comments:
Post a Comment