Saya teringat peribahasa diatas setelah melihat
berita – berita pemblokiran situs – situs islam “radikal” akhir – akhir ini. Bola
panas usulan penutupan dan pemblokiran situs – situs yang dinilai radikal oleh
BNPT tidak diakui sebagai kesalahan. Kesalahan dalam prosedur maupun kesalahan
dalam pengambilan sumber ijtihad tentang makna radikal itu sendiri. Tidak
mengakui kesalahan yang dilakukan dalam ijtihatnya, BNPT kemudian dalam
perkembangan malah mengatakan yang melakukan pemblokiran adalah Kominfo bukan
BNPT. Salah seorang dari BNPT yang kemudian menjadi narasumber dalam dialog
salah satu acara berita nasional mengatakan bahwa BNPT hanya mengusulkan, bukan
pemblokiran. BNPT seolah lempar batu sembunyi tangan atas apa yang sudah
terjadi. Sebuah paradok dalam drama ini adalah bahwa Kominfo melakukan
pemblokiran terhadap situs – situs islam yang dinilai radikal adalah usulan
dari BNPT. Lucu memang.. ah. Entahlah.. Namun kemudian orang bertanya – Tanya,
Siapakah yang ada menjadi “guru” jurus
mabuk BNPT dalam memblokir situs – situs islam ?. Sebuah jawaban atas
pertanyaan itu, Hidayatulllah.com kemudian melansir berita ada anggota BNPT
yang hadir acara IJABI. Apakah benar syiah dibalik semua ini? masih perlu bukti
untuk menguatkan argument ke arah sana
meskipun semua pandangan sudah mengarah ke sana.
Sudah tanggung malu akibat kesalahan prosedur dalam
pemblokiran situs – situs islam “radikal”, BNPT semakin mabuk dalam memberikan
alasan – alasan mengapa situs tersebut diblokir. Video dialog dalam acara
berita nasional, jelas tafsir radikal yang BNPT gunakan adalah tafsir pribadi,
dan memang diakui oleh narasumber (Wakil BNPT). Parameter radikal yang
digunakan mulai dari meyeru jihad, pemaknakan jihad yang sempit, menegakkan
khilaf, plintir Al-qur’an dan hadits, menyebut pemerintah thoghut hingga
masalah membid’ah – bid’ahkan kelompok lain. Sungguh aneh apa yang dilakukan
BNPT, kalau masalah plintir – memplintir hadits, Jaringan Islam Liberal adalah
yang harus diblokir lebih dahulu. Kalau urusan ngomong pemerintah Thoughut,
harusnya Web Majelis Mujahidin diblokir lebih dulu. Kalau masalah seru –
menyeru khilafah, Web Hizbut Tahrir adalah Web yang harus di tutup paling awal.
Tapi ternyata baik website Hizbut tahrir, MMI tidak masuk dalam 22 web yang
direkomendasikan BNPT. Justru Web Gemaislam.com milik teman – teman perkumpulan
Al-Irsyad yang diblokir. Padahal Gema Islam telah beberapa kali menggandeng
BNPT dalam acara – acara deradikalisasi. Kemarin saya kaget meilhat ustadz Adian
Husaini dalam status di akun Facebook-nya melemparkan berita penyataan bahwa
website hidayatulllah.com bukanlah produk jurnalistik. Namun yang menarik
adalah bahwa ada fakta salah satu dewan redaksi dari hidayatullah.com pernah
menerima penghargaan dari dewan pres. Sungguh, BNPT masih dalam kondisi mabuk
hingga mericau tidak karuan dan kesan mengada – ada dalam alasan pemblokiran
website islam.
Islamphobia BNPT memang sudah dimulai saat badan ini
terbentuk. Beberapa tindakan yang dilakukan cenderung mengulangi “radikalisasi”
pemerintahan represif orde baru. secara tidak sengaja saya menemukan majalah
hidayatullah edisi Januari 2011M / Muharram 1432H, dalam kolom opini penulis
mengkritik program “Halaqoh Nasional Penaggulangan Terorisme” yang sarat akan
muatan islamphobia. Bahwa tujuan terorisme adalah penegakkan Daulah Islamiah
dan Syari’at islam. Jika ada orang ingin menegakkan syariah islam akan
distempel teroris.
Pukulan yang tidak rata dari BNPT semakin meneguhkan, bahwa penangan Terorisme selalu menghasilkan terorisme yang baru. Masalah awal gerakan sekelompok orang Indonesia yang mendukung ISIS kemudian merembet kemana - mana. Ibaratnya, pemerintah ingin membunuh ISIS, tapi pelurunya menembus tidak hanya orang - orang pendukung ISIS, namun orang - orang disekitanya sebab Pemerintah menembak dengan menggunakan jurus mabuk. Disisi lain, perlu direnungkan kembali posisi Ulama dan Umara. Kasus pemblokiran situs - situs islam adalah bukti bahwa selama ini pemerintah jauh dari Ulama. Ketiadan Ulama dalam pengambilan keputusan penanggulangan Terorisme malah merugikan umat islam yang merupakan mayoritas penduduk indonesia. Ironis memang. Islamphobia di Negeri muslim.
Semoga dengan kasus ini semakin menjernihkan pandangan umara, bahwa sudah semakin jauhnya mereka dari ulama. Selain itu, berkembanganya ISIS di Indonesia yang diisi oleh anak - anak muda dan orang - orang yang "baru" belajar islam menunjukan bahwa minat belajar islam di kalangan pemuda dan umumnya masyarakat Indonesia sudah meningkat, namun hanya saja mereka salah mendapatkan guru. Disinilah seharusnya Ormas - ormas islam mengembangkan dakwah dan berfastabiqul khairat, bukan berpecah belah saling mengolok-olok satu kelompok dengan kelompok lain.
0 comments:
Post a Comment