Pro-Kontra Fatwa – Fatwa Ulama Tentang Palestina
“Sesungguhnya sesama orang mukmin
adalah bersaudara” (Terjemah Qs. Alhujjurat: 10)
“Tolonglah saudaramu baik yang
zhalim maupun yang dizhalimi” (Terjemah Hadits Bukhari)
“orang-orang mukmin itu bagaikan seorang
manusia yang satu. Jika kepalamua terasa sakit, maka seluruh badannya pun ikut
merasakan demam dan tidak bisa tidur” (Terjemah Hadits Muttafaq’Alaih)
“Sesungguhnya seorang mukmin
terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama
lain” (muttafaq”alaih)
Tentu kita sudah hafal dengan bunyi
ayat diatas dan hadits-hadits yang selalu kita dengar ketika membahas tentang
ukhuwah Islamiyah. Mungkin kita sudah hafal diluar kepala tentang semuanya,
keharusan ada kepedulian kepada saudara kita tentang apa yang meraka rasakan.
Simpati dan empati yang bisa kita wujudkan dalam bentuk segala hal, paling
tidak adalah do’a untuk saudara kita,
“do’a seorang muslim untuk
saudaranya tanpa sepengetahuannya itu mustajab. Ada malaikat didekat kepalanya,
di mana setiap kali dia mendo’akan saudaranya, malaikat itu berkata, aamiin,
dan untuk mu sama sepertinya’ (Terjemah Hadits Riwayat Muslim)
Rasa simpati dan empati terhadap
nasib kaum muslimin itu tentu bukan hanya untuk yang ada didekat atau sekitar
kita saja. tapi untuk semua orang yang mereka mengucapkan syahadat, maka mereka
adalah saudara kita yang wajib bagi kita untuk bersimpati dan berempati tentang
apa yang mereka rasakan. Sebab memang seperti itulah apa yang telah diwasiatkan
oleh Rasulullah SAW.
Tak terkecuali untuk saudara –
saudara kita di Negeri Palestina yang kini sedang dalam bawah bayang – bayang
Negara Zionis Israel. Saudara – saudara kita yang mengalami penjajahan fisik
dan pengusiran dari tanah yang telah mereka diami selama bertahun – tahun.
Sudah banyak kita dengar dari media – media tentang kekejaman Zionis dalam
menjajah Negeri Palestina tersebut, pembantaian demi pembantain sudah tidak
terhitung merenggut puluhan ribu syuhada. Seperti yang pernah terjadi pada 9
April 1948 yang dikenal dengan Diyar yasin, pada saat itu, wanita-wanita hamil
dirobek perutnya dan diambil anaknya, lalu dicincang-cincang. Pembantaian
Syurafat tanggal 7 Pebruari 1951, Pembantaian Idul Milad tanggal 6 Jnauari
1952, Pembantaian Gazzah tanggal 28 Pebruari 1955, Pembantaian Syathi’ Thabriya
tanggal 11 Pebruari 1955 dan masih banyak lagi pembantaian – pembantaian yang
kita kenal.
Sudah barang tentu, sebagai seorang
muslim yang ingin menjaga kehormatannya, muslim – muslim Palestina juga
melakukan perlawanan hingga hari ini. Perlawanan yang dilakukan pun
bermacam-macam, mulai dari pengiriman rudal – rudal ke Tel Aviv sampai dengan
melakukan “ BOM BUNUH DIRI”. Dalam menghadapi penjajahan yang dilakukan Zionis
dan perjuangan rakyat Paletina ini, terdapat macam – macam pendapat dan fatwa
yang dikeluarkan Ulama yang ditujukan untuk penduduk Palestina.
Kemudian mungkin kita pernah
mendengar fatwa yang pernah dikeluarkan oleh kelompok salafi (salafi disini adalah kelompok yang menganggap mereka adalah
yang mengikuti manhaj salafun shalih, bukan salafi sebagai manhaj yang umum
disepakati), yaitu Syaikh Nasirudin Albani yang pernah mengeluarkan fatwa
tentang keharusan meninggalkan Negeri Palestina untuk para penduduk yang masih
ada di dalam negeri yang sedang terjajah tersebut. Tentu saja hal itu membuat
bingung banyak kalangan yang selama ini menginginkan kemerdekaan untuk Negeri
Palestina dan menyelamatkan Masjid Al-Aqsa. Sehingga Beliau dituduh sebagai
antek Yahudi yang ingin menyukseskan program pengosongan tanah Palestina.
Beberapa point yang menjadi dalam
Fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh Albani adalah sebagai berikut;
1. Hijrah dan
Jihad adalah dua perkara yang akan terus berlangsung hingga tiba hari kiamat.
2. Fatwa ini
tidak ditujukan untuk negeri dan penduduk tertentu.
3. Manusia
paling mulia, Muhammad SAW, telah berhijrah dari tanah yang paling mulia dan
agung, Makkah Al-Mukarramah. Jika Nabi Muhammad sebagai manusia yang paling
mulia saja melakukan hijrah dari tanah yang paling mulia saja melakukan hijrah
dari tanah yang paling mulia di muka bumi, maka mengapa manusia lain yang tidak
semulia beliau enggan berhijriah dari tanah yang tidak semulia makkah.
4. Seorang
muslim diwajibkan hijrah, jika di negerinya ia tidak mendapatkan ketenangan
beragama, kerap mendapatkan intimidasi, mendapatkan banyak rintangan dalam
menajalan syari’at islam, sering mendapatkan cobaan fitnah dan cobaan, atau
selalu mendapatkan siksaan yang bisa membuat murtad.
5. Jika
seorang muslim menemukan suatu wilayah didalam negerinya yang bisa menjamin
keamanan dirinya, agamanya dan keluarganya, dan bisa menhindari semua bencana
yang bertebaran di kota atau desa asalnya, maka hendaknya ia berhijrah ke
tempat tersebut. Ini lebih utama, tak perlu diragukan. Dengan begitu, ia akan
lebih dekat, jika suatu sat kota atau desa asalnya kembali normal, ia bisa
kembali tinggal dengan tenang,
6. Dengan
demikian, jika hijrah disyariatkan antar negeri, maka ia disyariatkan pula
antar wilayah dalam sutu negeri. Tentunya mereka yang hendark berhijrah lebih
mengetahui apa yang seharusnya mereka laikakan bagi dirinya, dari pada orang
lain.
7. Hijrah
antar negeri tidak disyariatkan, kecuali ada sebab atau faktor yang
melatarbelakanginya. Diantara faktor utamanya adalah: hendaknya hijrah itu
dilakukan dalam rangka menghimpun kekuatan.
Demikian lah yangmenjadi fatwa
tentang keharusan berpindahnya rakyat Palestina. Pada Intinya, keharusan
berhijrahnya penduduk Palestina dari tanah yang dijajah oleh Zionis adalah demi
menyelamatkan keimaman mereka. Sebab dikhawatirkan, jika mereka tetap berada
dibawah tekanan penjajah akan menghalangi mereka dalam beribadah dan merusak
aqidah mereka. Selain itu, ketidakmauan berhijrah bisa jadi adalah kedzaliman
terhadap diri mereka sendiri.
Namun, perlu kita ketahui, bahwa
Fatwa tersebut kemudian masih tetap menjadi perdebatan di kalangan Ulama’
kontemporer yang kemudian juga mengadakan studi tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh rakyat palestina terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Zionis.
Hasil studi tersebut kemudian memberikan pandangan dan sikap yang lain dari apa
yang telah dipaparkan diatas. Salah satu ulama kontemporer yang memberikan
pandangan dalam masalah ini adalah Dr. Yusuf Al-Qardhawi.
(bersambung)
0 comments:
Post a Comment