Prinsip
keterpaduan dalam pelaksanaan management wilayah pesisir adalah keterpaduan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dari semua unsur berhubungan
secara langsung atau tidak langsung dalam masalah pengelolaan wilayah pesisir.
Keterpaduan dari unsur-unsur berikut,
keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar level pemerintahan, keterpaduan
ekosistem darat dan laut, keterpaduan sains dan manajemen dan keterpaduan antar
daerah/ Negara.
Keterpaduan
langkah ini dapat kita lihat dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau
kota dalam menjalankan semua yang telah disusun dalam Undang-undang no. 27
tahun 2007 yang itu merupakan dasar untuk semua pemerintah baik pusat, provinsi
dan kabupaten atau kota dalam membuat kebijakan tentang manajemen wilayah
pesisir dan semua yang berkaitan denganya. Seperti halnya dalam penataan ruang
wilayah, pengelolaan lingkungan hidup, tentang perikanan juga tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Sehingga
dalam pelaksanaannya, perlu adanya keserasian antara semua pemangku kebijakan
dan lembaga non pemerintahan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir.
Salah satu bentuk keserasian adalah dengan adanya pembagian tugas antara
pemerintah pusat, daerah dan kota/kabupaten. Berikut ini adalah pembagian peran
tersebut;
Peran-peran masing elemen
pemerintahan sebagai berikut:
Peran
Pemerintah Pusat Kewenangan Pemerintah adalah Kewenangan Pemerintah mencakup
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam hal
ini Kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000 Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang
Penataan
Ruang diketahui :
a. Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata
ruang Kabupaten/Kota dan Propinsi.
b. Penetapan kriteria penataan perwilayahan
ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai.
c. Pengaturan tata ruang perairan diluar 12 (dua
belas) mil.
d. Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas
Propinsi.
Kewenangan
menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007
tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1.
Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan
Strategis
Nasional
Tertentu
2.
HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
3.
Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
4.
Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap
perubahan lingkungan
5.
Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
6.
Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan
melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
7.
Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan kebutuhan
8.
Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat
nasional
Jenis
kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1.
Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
2.
Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan
kawasan tertentu;
3.
Program akreditasi nasional;
4.
Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap instansi
Pemerintah;
serta
5.
Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang bertujuan
strategis.
Peran Pemerintah Propinsi
Kewenangan
propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam Pasal 9 Ayat 1 Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu
lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian
pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya
manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan
pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/
pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata
ruang Propinsi. Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala
pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a. Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila
suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan
yang bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas tersebut dipertimbangkan untuk
diletakkan pada daerah Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan
cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.
b. Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota
Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satuKabupaten/ Kota tertentu dapat
merugikan Kabupaten/ Kota lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas
tersebut diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan pemerintah di
samping berdasarkan kriteria sebagaimana telah dikemukan diatas juga dilakukan
dengan pendekatan fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah digunakan
diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi kebijakan, perencanaan/ alokasi,
pendanaan, penerimaan, perijinan, pengelolaan, pemerintahan, pemantauan/
pengawasan, dan kerjasama/ koordinasi.
c. Letak Geografis
Bilamana
secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari 2 Kabupaten/ Kota, maka
kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah
Propinsi.
d. Potensi pemanfaatan
Bilamana
sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan lebih dari 2 kabupaten/ kota,
maka kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah
propinsi.
Kewenangan
gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007
tentang
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1.
Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
2.
Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat
provinsi
3.
Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap Dinas otonom atau
badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil terpadu Provinsi;
4.
Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar Kabupaten/kota, dan dunia
usaha;
5.
Mengatur program akreditasi skala provinsi;
6.
Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan instansi vertikal
di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
7.
Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil di provinsi
Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan
ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan
umum merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota.
Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan sarana/prasarana umum yang
menyangkut kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota,
ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a. Kabupaten/ Kota yang tidak atau belum mampu
melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan
tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/ Kota, kerja sama
antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut
kepada Propinsi;
b. Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama
atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada
Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota;
c. Bupati/ Walikota wajib menyampaikan keputusan
mengenai penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf
b kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah;
d. Presiden setelah memperoleh masukan dari
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui
penyerahan kewenangan tersebut;
e. Dalam hal Presiden tidak memberikan
persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
f. Apabila Presiden memberikan persetujuannya,
pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
g. Apabila dalam jangka waktu satu bulan
Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut
dianggap disetujui;
h. Sebagai akibat dari penyerahan tersebut,
Propinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan
pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah;
i. Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi menyerahkannya
kepada Pemerintah dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum pada huruf c
sampai dengan huruf h; dan
j. Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan
kemampuannya menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah wajib
mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
Kewenangan
Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27
Tahun
2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a. Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
b. Mengatur penilaian setiap usulan rencana
kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
c. Mengatur perencanaan antar instansi, dunia
usaha, dan masyarakat;
d. Mengatur program akreditasi skala
kabupaten/kota;
e. Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai
dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
f. Mengatur penyediaan data dan informasi bagi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
Peran masyarakat dan Lembaga non
pemerintahan
Salah
satu bagian yang tidak kalah pentingnya adalah harus adanya peran dari
masyarakat dan lembaga non pemerintahan dalam terwujudnya keterpaduan dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Sebab, kedua elemen ini juga merupakan bagian dari
masyarakat yang menjadi objek dari kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
pengeloalaan wilayah pesisir. Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat dan lembaga
non pemerintahan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mewujudkan,
menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil):
a.
Pengambilan keputusan;
b.
Pelaksanaan pengelolaan;
c.
Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d.
Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.
Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah
penurunan
daya
dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f. Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang
ramah lingkungan;
g.
Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h.
Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bentuk
organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dikembangkan antara lain:
a.
PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b.
COFISH (Coastal Fisheries)
c.
Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d.
Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
Pelaksanaan Awal ICZM
Kekuatan
yang mendorong inisiasi proses ICZM dapat berasal dari sejumlah pengaruh, termasuk
respon terhadap situasi krisis, respon terhadap strategi misalnya Strategi Uni
Eropa untuk ICZM, atau keinginan untuk manajemen proaktif. Namun, common denominator
dalam setiap kasus adalah perlu untuk memecahkan masalah pesisir tertentu.
Dengan demikian , tahap pertama dari proses ICZM melibatkan definisi dan
penilaian isu-isu yang berkaitan dengan masalah ini. Hal ini biasanya
melibatkan evaluasi menyeluruh terhadap status fisik, sosial dan ekonomi,
rekayasa dan pengelolaan lingkungan pesisir, menyatukan informasi dari berbagai
berbagai sumber untuk menghasilkan profil pesisir.
Kesenjangan
informasi yang diidentifikasi dapat mengakibatkan usaha survei tertentu untuk
memperoleh data baru. Kontribusi ilmu pengetahuan untuk ICZM penting pada tahap
ini . Laporan GESAMP pada topik ( 1996) menggambarkan sebuah prasyarat penting
untuk sukses ICZM sebagai :
Kolaborasi
antara manajer dan para ilmuwan di semua tahap kebijakan dan program manajemen,
dan dalam desain, perilaku, penafsiran dan penerapan penelitian dan pemantauan.
Keterlibatan
masyarakat dan stakeholder juga sangat penting dalam pengidentifikasi masalah. Keterlibatan
aktif mereka pada tahap awal memberikan pengetahuan lokal, menumbuhkan dukungan
dan meningkatkan kesadaran program. Hasil dari tahap ini harus menghasilkan
keputusan dengan gambaran yang jelas dari sifat pesisir manusia dan fisik lingkungan
, urgensi masalah yang akan diselesaikan. Informasi ini memungkinkan pengambil
keputusan untuk menilai bagaimana ICZM dapat dimulai
Unsur-Unsur
Terpenting dalam Pelaksanaan ICZM
·
Rencana persiapan
Tujuan
dari tahap rencana persiapan adalah untuk:
a) Menjelaskan
tujuan program ICZM
Salah satu komponen
fundamental dari setiap program adalah pernyataan yang jelas tentang tujuan
dari program tersebut. Tujuan Program
harus disertai dengan visi kapan dan bagaimana tujuan tersebut harus dicapai,
termasuk rencana pengaturan kelembagaan yang diusulkan dan mekanisme pendanaan
yang efisienPada fase ini, rencana persiapan harus sudah matang untuk
memastikan bahwa rencana tersebut akan didukung oleh semua pembuat keputusan
dan didukung oleh kepentingan stakeholder
b
) Penentuan arah dan tingkat integrasi
Ada
beberapa jenis integrasi yang dapat dicapai oleh proses ICZM. Integrasi
vertical ( antar tingkat ) seperti antara pemerintah pusat, daerah, kota/
kabupaten. Selain itu, juga ada integrasi horizontal ( lintas sektor ) seperti
antara dinas-dinas terkait dalam pengambilan dan penerapan kebijakan wilayah
pesisir. Kedua contoh diatas adalah hal yang digunakan untuk menggambarkan dua
jenis utama dari integrasi dianggap penting dan efektif. Selain itu, ada jenis lain dari integrasi
meliputi integrasi internasional, yang sangat relevan di perbatasan bersama
integrasi organisasi pemerintah dan non - pemerintah dan integrasi ilmu
pengetahuan dan manajemen.
c
) Rencana pengaturan kelembagaan
Hal
ini diperlukan untuk melembagakan ICZM ke:
a)
Mempertahankan upaya ICZM
b)
Memperkuat integrasi dan koordinasi
c)
Merampingkan anggaran dan sumber daya manusia
Tahap
rencana persiapan
termasuk didalamnya mendefinisikan peran lembaga-lembaga yang akan berpartisipasi
dalam proses ICZM di semua tingkat - pada tingkat nasional, regional dan lokal.
Hal ini diperlukan untuk menentukan hubungan antara lembaga-lembaga dan untuk
membangun struktur untuk meningkatkan integrasi di antara mereka. Pengaturan
ini bisa legal atau sebaliknya.
·
Pendanaan Program
Salah
satu bagian terpenting dalam pelaksanaan program ICZM adalah Pendanaan.
Pendanaan ini untuk keberlangungan program ICZM itu sendiri. Pendanaan ini tidak
hanya menjadi tugas dari pemerintah pusat, namun juga daerah kabupaten/ kota.
Selain itu, partisipasi dari masyarakat merupakan bagian penting dari proses
ICZM .
·
Implementasi
Program
ICZM dapat diimplementasikan di sejumlah tingkatan, termasuk di tingkat
nasional , regional dan tingkat lokal . Tingkat pelaksanaan harus dipilih
sesuai dengan lingkup geografis dari masalah yang harus dikelola . Program
nasional memastikan bahwa rencana ada untuk seluruh pantai . Selain itu juga
dapat mengidentifikasi titik-titik di mana isu-isu pesisir membutuhkan
pengembangan dan pelaksanaan rencana ICZM tertentu . Program regional yang
tepat untuk membentang pantai dengan isu-isu umum pesisir. Namun, penting untuk
memastikan kompatibilitas antara program pada tingkat yang berbeda dan untuk
menjamin ketersediaan yang cukup sumber daya untuk melaksanakan rencana yang
efektif .
·
Monitoring dan evaluasi
Setelah
semua langkah-langkah diatas terlaksanakan, maka perlu ada mekanisme pemantuan
atau monitoring untuk melihat sejauh mana penerapan kebijakan tersebut dan
sejauh mana efektifitasnya. Sehingga penerapan dari semua kebijakan tersebut
dapat dievaluasi dalam rangka penyempurnaan progam tersebut atau perbaikan
dalam proses penerapannya.
Faktor-Faktor Penghambat Penerapan
Keterpaduan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Tidak
dapat dipungkiri lagi, bahwa dalam pelakasanaan penerapan pengeloalan wilayah
pantai terpadu masih banyak hal-hal yang menjadikan penghambat. Banyak factor
yang menjadi penghambat dari semuanya itu, antara lain sebagai berikut;
Sumber daya manusia
Salah
satu bagian dari sebuah pengambilan atau penerapan sebuah kebijakan atau
peraturan adalah manusia yang menjadi objek dan subyek dalam satu waktu yang
sama. Sehingga semua pengambilan atau pelaksanaan kebijakan sangat bergantung
siapa yang mengambil kebijakan tersebut dan sejauh mana pertimbangannya. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang ada dibalik
semuanya.
Permasalahan
yang terjadi adalah ketidakmerataan pemahaman dalam interpretasi kebijakan di
pemerintah pusat, daerah dan kabupaten/ kota yang disebabkan tidak semua yang
berada dalam pengambil kebijakan atau pen
Perbedaan penerapan kebijakan
diberbagai daerah.
Permasalahan
umum yang banyak terjadi dalam penerapan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir
di era otonomi daerah adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kurang
selarasnya penerapan kebijakan, kepentingan pusat dan daerah meskipun semua
dasar pengambilan kebijakan yang sama. banyak yang mempengaruhi hal tersebut,
salah satunya adalah faktor pengambil kebijakan di daerah. Semua pembuatan,
penerapan tergantung pada apa yang menjadi kepentingan daerah tersebut.
Sehingga ketika hal itu terjadi, pembangunan kebijakan tidak pernah bersinergi
dalam menerapkan aturan yang telah dibuat di pusat. Pada akhirnya hal ini
menyebabkan ketidak merataan pembanguan wilayah pesisir di daerah.
Kurangnya Keterlibatan Masyarakat
dan Lembaga Non Pemerintahan
Pemahaman
masyarakat pesisir sendiri yang kurang peduli dengan lingkungannya. Hal ini
disebabkan masih minimnya tingkat edukasi di masyarakat pesisir sendiri.
Padahal, jika mayarakat pesisir terebut mempunyai tingkat pendidikan yang
lebih. Maka, masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan
kesadarannyadapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam
disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah
dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk
berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan
tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan
masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan
usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat.
Selain
masyarkat, juga terdapat lembaga / organiasasi non pemerintah yang juga harunya
banyak dilibatkan. Selain sebagai mitra yang membantu pelaksanaan kebijakan, adanya
lembagai ini jgua berfungsi sebagai pengontrol dari setiap kebijakan dari
pemerintah apa bila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan konsep pembangunan
wilayah pesisir yang berkelanjutan. Melihat strategisnya lembaga / organisai
non pemerintahan ini, seharusnya melibatkan dalam pelaksanaan kebijakan,
pembuatan kebijakan atau pengelolaan dalam kebijakan pembangunan wilayah
pesisir seperti yang diamanahkan dalam UU No. 27 tahun 2007.
0 comments:
Post a Comment