Kebebasan Pemikiran Dalam Islam
Kalau kita membaca buku "Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib", kemudian di dalam buku tersubut ada pengenalan sedikit tentang sosok Ahmad Wahib yang dipaparkan oleh Johan Efendi. Johan Efendi menceritakan siapa saja yang menjadi idola Ahmad Wahib tentang pemikiran yang itu menjadi refrensi pemikirannya. salah satunya adalah Ir. Soekarno, tentu kita kenal beberapa pemikiran beliau yang pernah menjadi kontroversi dalam tulisan yang menggugat kebebsan berfikir dalam islam dan sekulerisasi. namun semua tulisan itu telah "dijawab" langusung oleh M. Natsir. Tentang kebebasan berfikir, hampir sama corak pemikiran Ir. Soekarno dengan apa yang ditulis oleh Ahmad Wahib dalam catatan harianya. berikut adalah tulisan M. Natsir ketika menjawab kegamangan kebebasan pemikiran dalam Islam yang di muat dalam panji islam.
_________________________________________________________________________________
SIKAP
„ISLAM" TERHADAP „KEMERDEKAAN-BERFIKIR".
Kemerdekaan-berfikir,
Tradisi, dan Disiplin
APRIL
~ DJUNI 1940.
Oleh
M. Natsir
I
Salah-satu dari
tiang2 adjaran Djundjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. jang penting, ialah : Menghargai
akaUmanusia dan melindunginya dari pada tindasan2 jang mungkin dilakukan orang
atas ni'mat Tuhan jang tiada ternilai itu. Muhammad meletakkan akal pada
tempat jang terhormat dan mendjadikan akal itu sebagai salah satu alat
untuk pengetahui Tuhan. Bertebaran dalam Al-Quran pertanjaan2 jang memikat
perhatian, menjuruh orang mempergunakan fikiran dan mendorong manusia supaja
mempergunakan akalnja
dengan
se-baik2-nja :
„Kenapa mereka
tidak berfikir ?,
„Kenapa mereka
tiada mengetahui ?,
„Kenapa mereka
tiada mempergunakan akal ?", dan demikianlah seterusnja...!
Disuruh manusia
memperhatikan tumbuh2-an jang hidup, dan ditanja, apa dan siapakah jang menghidupkan
dan menumbuhkan tumbuh2-an itu. Disuruh manusia memperhatikan api
jang menjala, dan ditanja apa dan siapakah jang menjalakannja. Disuruh
memperhatikan air hudjan jang turun dari langit, dan ditanja apa dan
siapakah jang menurunkannya, apakah manusia atau siapa...!
Disuruh
memperhatikan binatang2 jang berguna bagi manusia seperti unta, disuruh memperhatikan
bumi jang terhampar, memperhatikan langit jang melengkung, gunung jang
berderet, awan dan mega jang berdujun dan beriringan, disuruh fikirkan dan
diminta
mengambil
keputusan sendiri tentang kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Disuruh dan diadjar
manusia supaja melihat Chalik nja „dibelakang" semua machluk
jang dapat dilihatnja dengan mata kepala sendiri. Demikian Quran berkata,
antara lain :
,Adakah kamu
perhatikan sesuatu jang kamu tanam T'
~ „Kamukah jang
menumbuhkannya atau Kamikah jang menumbuhkannya
T,Adakah kamu
perhatikan air jang kamu minum T'
— „Kamukah jang
menurunkannya dari awan atau Kamikah jang
menurunkannya T'
„Adakah kamu
perhatikan api jang kamu n jalakan dengan kaju T'
— „Kamukah jang
mendjadikan kajunja atau Kamikah jang mendjadikannja?"
(Q.s. Al-Waqi'ah
: 63-64; 68-69; 71-72).
Siapakah
diantara orang2 jang berakal jang tidak akan terpikat hati dan perhatiannja
oleh tjaranja Islam membawa manusia kepada mengetahui Tuhannja seperti jang
terlukis dalam ajat2 jang kita turunkan diatas itu. Sudah tak sjak lagi bahwa
sakih-satu dari djasa Islam atas manusia -dan kemanusiaan, ialajt
„mobilisasi-akal", membuka dan menggerakkan akal manusia jang selama ini
tidak mendapat tempat jang semestinja dalam kehidupan ruhani dan djasmani
manusia. Bukalah Quran halaman mana sadja ! Sudah pasti akan dirasa oleh tiap2
seseorang jang membatjanja, betapa besarnja dorongan Islam untuk memakai akal
dan mempergunakan fikiran sebagai satu ni'mat Tuhan jang tidak ternilai
harganja.
Orang Islam
diwadjibkan memakai akal untuk memikirkan ajat2 Quran supaja mengerti maksud
dan tudjuannja, lantaran ajat2 Quran itu diturunkan untuk mereka jang mau
berfikir, mau mengambil ma'na, mau mengetahui dan mau beristinbath.
„Sesungguhnja
Kami terangkan ajat* ini se~djelas" ~nja bagi orangjang mau
mengerti!" (Q.s.
Al-An'am ; 98). Islam amat mentjela akan orang2 jang tak mempergunakan akalnja,
orang2 jang terikat fikirannja dengan kepertjajaan dan paham2 jang tak berdasar
kepada dasar jang benar, jaitu mereka jang tak mau memeriksa apakah
kepertjajaan dan paham2 jang disuruh orang terima atau dianut mereka itu, benar
dan adakah berdasar kepada kebenaran atau tidak.
Tegasnja, Islam
melarang bertaklid-buta kepada paham dan
i'tikad jang tak berdasar kepada Wahju Tuhan, jaitu jang hanja turut
pahamMama jang turun-temurun sadja, dengan tiada pemeriksaan tentang sutji atau
tidaknja.
— „Dan
djanganlah engkau turut sadja apa jang engkau tidakmempunjai pengetahuan
atasnja, karena sesungguhnya pendengaran,penglihatan dan hati itu, semuanja
akan ditanja tentang itu!"(Q.s. Bani Israil: 36).
Demikianlah
dua-tiga tjontoh dari pertanjaan (rhetorische vraag) dalam Quran jang tepat2
dan tadjam2, dihadapkan kepada manusia supaja mereka memakai akalnja dan
menghargai akal itu sebagaimana mestinja. Kalau di Barat orang
mengatakan bahwa Baco van VerulamAah jang mula2 mengemukakan inductieve
methode dalam berfikir, maka ketahuilah bahwa Muhammad s.a.w. sudah
mengadjarkannja beberapa abad pada sebelum Verulam. Muhammad s.a.w.
mengadjarkan suatu tjara-berfikir jang sampai sekarang mendjadi dasar bagi tiap2
penjelidikan jang hendak dinamakan „wetenschap". Dalam Islam akal mendapat
tempat jang mulia, dalam Islam akal tidak ditindas dan dipaksa, tapi
dipergunakan dan diberi djalan, disalurkan untuk ketinggian dan keluhuran
manusia.
Tapi apakah ini,
djuga berarti bahwa orang Islam harus melemparkan segala matjam gedachte-traditie-n\a
dan harus mendjadikan „gedachte-vtijheid"-nja,
„aA:a/-mercfeA:a"-nja itu sebagai Hakim jang tertinggi dalam semua hal ?
Marilah kita periksa !
II
„Akal-merdeka"
telah
memerdekakan kaum Muslimin dari kekolotan jang membekukan otak; dan1 akal-merdeka
telah melepaskan kaum Muslimin dari gedachte-indolentie dan
kemalasan-berfikir. Akal-merdeka telah melahirkan seorang Washil bin
'Atha', jang telah berani menentang arus aliran paham gurun ja dan berani
beri'tizal, berpisah dari mazhab Imam Hasan Basri. Akal-merdeka telah
melahirkan seorang Abul-Huzhail Al-'Allaf, seorang An- Nadzam dan lain2
pudjangga Mu'tazilah jang tak kalah ketangkasan dan ketadjaman otaknja dari
filosof2 Barat jang termasjhur. Akal-merdeka telah melahirkan seorang
mufassir Fachru'ddin Ar- Razi, jang mentjiptakan satu tafsir Quran jang tetap up
to date sampai sekarang. Akal-merdeka telah melahirkan seorang
Al-Asj- ari jang diwaktu ketjilnja dididik dalam suasana „Ahlissunnah" ;
kemudian berani beri'tizal dari mazhab tersebut tapi kemudiannja tak gentar
pula meninggalkan mazhab Mu'tazilah dan membantah beberapa adjaran2
„rasionil" dari kaum Mu'tazilah dengan sendjata Mu'tazilah sendiri, jakni akal-merdeka
itu djuga. Al-Asj'ari jang dalam teori falsafahnja tentang 'ainus-sjai' tak
kalah bila dibandingkan degan teori „Das Ding an sich" dari ImmanuelKant.
Al-Asj'ari jang teori Qadha dan Qadamja tak kalah djika
dibandingkan dengan teori Harmonia Praestabilita dari Leibniz.
Akal-merdeka
telah melahirkan seorang Ghazali, seorang Ibnu Thaimijah, seorang Muhammad
'Abduh dan lain2. Sebahknja, lantaran akal-merdeka itu pulalah, telah
timbul
paham
Karramieten jang mengemukakan i'tikad anthropomorphisme jang
bertentangan dengan dasar2 'akaid Islam, dengan ruh dan spirit Islam. Lantaran akal-merdeka
itu pula timbul i'tikad pantheisme dalam kalangan ahli tasauf.
Lantaran, akal-merdeka jang tak-mau-tahu dengan aturan2 pengambilan
Quran dan Hadits, terdjadi pula kemerdekaan mem-belok-balikkan mana
Quran dan Hadits itu sebagaimana jang tjotjok dengan si-akal-merdeka itu
sendiri pula. Lantaran akal-merdeka matjam ini maka seorang Al-Halladj bisa
berkata „ana Al-Haqq", afcu-lah Tuhan! (na'uzhubillahi min
zhalik).
Lantaran akal-merdeka
orang membikin aturan usalli, talaffuzbin- niat dan menghukumkan jang
demikian itu selaku ibadah jang sunnat, dan lantaran akal-merdeka orang
tak mau peduli dengan ada atau tidaknja tjontoh jang demikian itu, adalah dari
jang satu2- nja berhak menentukan tjara peribadahan kepada Allah Jang Mahaesa,
jakni Rasulullah s.a.w. sendiri, atau tidakkah...! Lantaran akal-merdeka~\ah
mula2 terbit bermatjam urusan baru dalam ibadah, terdjadi berbagai bid'ah
dan churafat, churafat kuno dan churafat modern.
Dengan akal-mereka
orang bisa mentjela, mengeritik dan mengedjek2 orang pergi kemeriam si
djagur dengan tuduhan tidak ma qul, tidak rasionil. Tapi jang ditjela itu
pandai pula mempertahankan perbuatannja dengan akal-merdeka djuga !
Akal-merdeka mentjela orang
jang pertjaja kepada azimat, mentjela orang memudja patung, lantaran
,,tidak-logis" „tak-masuk akal". Akan tetapi akal-merdeka itu
pula jang pandai mentjarikan alasan dan helah untuk bertahan apa dan betapa
kegunaan maskot, sehingga dan bahwa walau bagaimanapun azimat dan pak dukun
tetap ada pengaruhnja dalam alam ruhani...! ? Akal-merdeka ada pada sisi
si pintar dan si bodoh! Si pintar ber-akal-merdeka setjara pintarnja, si
bodoh ber-akal-merdeka setjara bodohnja pula. Taklidisme ada pada si
djahil, dan tak kurang pula ada pada si intelek; si djahil berturut-munding
setjara djahilnja, si intelek bertaklid-buta setjara inteleknja pula. Akal-merdeka
bisa memperkuat dan memperteguh iman kita, menambah chusju' dan tawadhu'
kita terhadap kebesaran Ilahi serta membantu kita mentjahari rahasia2 firman
Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah2 suruhan dan adjaran Agama, mempertinggi
dan memperhalus perasaan keagamaan kita. Akal-merdeka bisa membersihkan
Agama kita dari kutu2 berbahaja jang datang belakangan dan jang bertentangan
dengan Agama itu sendiri., Akal-merdeka membukakan djendela alam fikiran
kita, agar
bertukar udara apik dan busuk dengan udara jang bersih dan njaman\ Tapi dalam
pada itu akal-merdeka pandai pula membongkar tiang2 Agama itu
melemparkan hudud dan melangkahi batas. Djadi bukan sadja ia bisa memasukkan
udara jang sedjuk dan sepoi2 basa, tetapi dapat djuga memasukkan topan-limbubu
menghancurkan apa jang ada.
Akal-merdeka ibarat api jang
mungkin berbentuk- lampu jang gemerlapan memimpin kita dari gelap-gelita kepada
terang-benderang, tapi seringkah mungkin pula ia menjala ber-kobar2,
menjiarbakar rumah dan gedung, melitjin-tandaskan apa jang ada...! Alangkah
permainja akal-merdeka ! ! ! Alangkah tjelakanja akal-merdeka ! ! ! Maka
sekarang betapa kita akan ber-Hakim kepada akal-merdeka se-mata2 ? !
.Afca/-merc/efca-sonder-disiplin mendjadikan chaos jang tjentangperenang,
—Vrijheid zonder gezag is anarchie...!
III *
Agama datang membangunkan
akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia
memakai akalnja dengan sebaik2- nja sebagai suatu ni'mat Ilahi jang mahaindah.
Agama datang
mengalirkan akal menurut aliran jang benar, djangan melantur kesana kemari,
merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai kita
melepaskan kuda ditengah padang, untuk meradjalela disemua lapangan. Dalam
beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menjambung
kekuatan akal dimana si akal tak dapat mentjapai lebih tinggi lagi. Seseorang
jang mendakwakan bahwa „akal" itu bisa mentjapai semua kebenaran, pada
hakikatnja, bukanlah sebenar2- nja orang jang telah mempergunakan akalnja dan
bukanlah seseorang jang akalrja merdeka dari hawa-nafsu tjongkak dan tekebur,
tetapi jang terikat oleh salah-satu matjam taklidisme modern jang bernama..., rasionalisme
!
Kalau boleh
dikatakan bahwa alam Islam sekarang menderita satu krisis maka ketahuilah bahwa
bukan sekali ini krisis menimpa dan menghantam Agama Islam. Bukan dizaman radio
dan televisi ini sadja, tapi krisis itu telah pakaiannja sedjak lahirnja.
Antaranja, ingatlah betapa hebatnja serangan pengaruh kebudajaan Hellenisme,
i'tikad Karramieten, serangan bermatjam firkah jang ber-kobar2, penjakit taklid
dan fanatisme jang buta-tuli jang mengorek kekuatan Islam sebagai reaksi atas
aliran Mu'tazilah, misalnja. Tapi kenjataan dari semua perdjuangan itu Islam
selalu keluar dengan kekuatan dan tenaga jang baharu. Tiap kali, timbul dalam
tubuhnja sendiri bermatjam antitoxine, jang membersihkan dirinja kembali dari
kuman2 penjakit jang datang dari luar. Habis itu ia keluar lagi dengan
memperlihatkan segi2 dan bangunnya dari pelbagai warna, jang selama ini
belum begitu tegas kelihatan tjorak-garisrija.
Adapun aliran
Mu'tazilah adalah hanja sebahagian sadja dari pada aliran2 jang telah dilalui
oleh Islam dan kaum Muslimin umumnja. Banjak jang telah tertjapai oleh rario
kaum Mu'tazilah, banjak manfaat jang dihasilkannja bagi umat Islam dizaman itu
dengan memakai „rein Vernunft" se-mata2 dalam semua hal dan lapangan itu.
Akan tetapi seorang Guru Besar Mu'tazilah seperti Al-Djubbai jang mendjadi
pelopor dari akal-merdeka itu, telah terpaksa mengakui, waktu mendapat
soalan dari muridnja Al-Asj'ari, — bahwa banyaklah hal2 jang tak mungkin
ditjapai oleh akal-merdeka dan bahwa banjaklah hal2 jang kita sebagai manusia
terpaksa berkala „wallahu a'lam !", dan bahwa banjak pula jang kita harus
terima
sadja dengan
„bila kaifa... !"
Siapakah jang
tidak mengakui bahwa Immanuel Kant itu seorang ahli fikir jang besar ? Akan
tetapi Immanuel Kant jang besar itulah, jang telah membantah paham orang jang
mengatakan bahwa semua boleh dipulangkan kepada akal-merdeka, boleh
diputuskan menurut kemauan „rein Vernunft!"
Dipakai „rein
geloof" disemua perkara, kita akan beku dan djumud ! Diturutkan kemauan
„rein Vernunft" disemua hal kita akan hantjur dan luluh. Maka bagi masing2
ada tempatnja, ada gelanggangnja. Islam menundjukkan tempatnja masing2 itu
supaja saja; dan tuan djangan keliru pasang. Djundjungan kita bersabda :
„Berfikirlah
kamu tentang machluk Allah tapi djangan berfikir tentang Zat-Nja l" (H.s.r. 'Iraqi
dan Asbahani).
„Apabila orang
memperdebatkan masalah qadha dan qadar, hendaklah kamu diam I" Demikian antara
lain udjar beliau lantaran semua ini bukan lapangan akal, bukan medan Vernunft,
tidak gelanggang ratio,
IV
Ibnu Sina, boleh dinamakan
seorang rasionalis-Islam jang besar jang telah melepaskan dahaga ruhaninja
dengan sumber2 kebudajaan Junani, tapi tidak melampaui batas2 hukum 'akaid
Islam dalam tiap2 tindakannja. Ia tidak salah2 raba menentukan, manakah jang „spirit
o f Islam" dan manakah jang „spirit o f Hellenism"'.
Diwaktu budjangnja enggan disuruhnja mengambil air wudu' waktu subuh dimusim
dingin, ia berkata antara lain : „Engkau kasihi dan sajangi aku, engkau
fanatiki aku malah engkau menganggap aku lebih pintar dari Muhammad s.a.w.,
akan tetapi sekarang baharu sekedar aku suruh engkau keluar kamar mengambil air
wudu' sadja engkau sudah enggan lantaran merasa dingin. Dengarlah suara
mu'addzin jang njaring dari atas menara itu ! Disini engkau tahu, bagaimana perbedaan
kekuatan akal manusia dengan kekuatan Wahju Ilahi.
Dalam hari jang
sedingin ini si mu'addzin tak gentar keluar dalam gelap-gelita memandjat keatas
menara jang tinggi untuk membangunkan kaum Muslimin jang akan menjembah Tuhan.
Semua ini hanja lantaran sepatah suruhan Rasulullah s.a.w....!" (Al-Wahjul
Muhammady). Ibnu Thufail, boleh —, kalau ia hendak dinamakan seorang
rasionalis berakal-merdeka, — jang telah bersusah pajah mengubah pendapatnja
tentang lapangan akal-merdeka dan gelanggang- Wahju-Ilahi dalam sebuah
roman-falsafahnja jang bernama Haybin Yaqdzan (lihat karangan no. 7) jang
dikarangannja dengan prosa-berirama jang memikat perhatian — menerangkan lebih
landjut bahwa dalam ichtiar „mentjari Tuhan" mungkinlah dipakai akal
se-mata2. Tetapi dalam pada hendak mengetahui „sifat2-Nja" dan
dalam menentukan tjara2-nja kita harus „memperhubungkan" diri
dengan Tuhan itu, akal-se-mata2 tidak dapat dan tak sanggup dipakai lagi,
karena jang demikian adalah gelanggang Wahju, tempat si manusia mau-tak-mau,
mesti berpendirian dan berkata : samina
wa atha'na...!, kami dengar dan
kami turuti.
Ibnu Rusjd, walaupun
bagaimana merdeka-akalnja, tapi adakah dia selalu berhakim kepada
akal-merdekanja itu ? Adakah ia „verwerken" semua aturan2 Islam supaja
tjotjok dengan „kemauan zamannja ?" Ada jang ia „verwerken", tapi
banjak pula jang tidak.dia ,,verwerken". Bukalah
„Bidajutul-Mudjtahid"-nja...! Apakah ia melemparkan semua Hanbalisme,
Sjafi'isme, Malikisme dan Hanafisme ? Tidak ! Dibawakannja paham2 jang berselisihan
jaitu ada jang kaku se-mata2, dan ada jang rasionil, sesuai dengan
zaman lisol dan kreolin matjam sekarang. Disusulinja, apakah sebab maka terbit
perselisihan pendapat itu. Kemudian dituliskannja bagaimana idjtihadnja
sendiri. Dilain tempat dilepaskannja,
diserahkannja
kepada pembatja jang mudjtahid. Tidak semua jang „kaku" itu salah
sebagaimana tidak semua jang „rasionil" itu dibenarkannja. Tidak
se-benar2-nja ber-akal-merdeka, apabila seseorang menolak salah satu
aliran paham a priori sadja, sebelum diperiksanja lebih dulu, mana jang pantas
ditolak dan mana bahagian2-nja jang patut diterima. Begitu tjaranja Ibnu Rusjd
dalam mempraktekkan akal-merdekanja!
Prof. Farid
Wadjdi, salah seorang pengandjur akal-merdeka diabad kita sekarang,
apakah ia „merasionilkan" semua aturan2 Islam Tidak! Dalam beberapa
tulisannja a.l. dalam „Al-Islamu Dienun 'Aam wa Chalid" ditjontohkannja
bagaimana kita harus mempergunakan akal kita supaja si akal djangan tekebur
menganggap semua jang dinamakan perasaan-keagamaan itu adalah sentimen jang rendah.
Didjelaskannja supaja si akal mengakui akan kekuatan perasaan- keagamaan itu
dan kepentingannja, untuk djadi rem bagi tabiat kedjahatan dari manusia, tabiat
jang tak dapat direm dan dikekang dengan ratio dan akal se-mata2. Diuraikannja
bagaimana Agama Islam telah memperhubungkan akal dengan perasaan-keagamaan
dalam satu kombinasi jang harmonis, satu menghargai jang lain pada
tempatnja masing2. Bukalah „Al-Mashaful- Mufassar''-nja ! Akan bertemu
Farid Wadjdi jang hidup dizaman radio dan televisi itu mendjelaskan bahwa
diantara aturan2 Islam itu ada jang mesti dirasionilkan, dan ada pula
jang mesti di-„bila-kai[a"-kan. Dan..., sjukurlah Djundjungan kita
Nabi Muhammad s.a.w. jang djadi pemimpin umat bagi segenap masa dan masjarakat
tidak lupa meninggalkan bagi kita dan bagi generasi2 jang akan datang sesudah kita,
satu patokan dan batas untuk menentukan dimanakah kita boleh dan mesti memakai
ratio dan dimana pula kita harus dan mesti terima dengan sami'na wa atha'na se-mata2.
Beliau bersabda :
„Djika ada
urusan Agamamu serahkanlah kepadaku. Dan djika ada urusan keduniaanmu, maka
kamu lebih tahu akan urusan duniamu itu". (H.r. Muslim).
AlhanKluJillah,
kita ada mempunjai pedoman ini!
Apakah jang
mungkin tinggal lagi dari pusaka Muhammad s.a.w. sekiranja dalam semua hal jang
penting ini, kita dibiarkan dihela dan diseret oleh kemauan si akal-merdeka,
membebek kepada kemauan hawa-nafsu jang bertopeng akal-merdeka ? Apakah
jang akan tinggal lagi dari Agama Ilahi, sekiranja kita dalam urusan ini,
dibiarkan terumbang-ambing antara neo-Platonisme dan Historisch
materialisme, atau 1001 matjam isme jang lain lagi, dari jang kolot
sampai jang modern ?
V
— Manakah jang
dinamakan „Dien" ?
— Dan manakah
jang dinamakan „Dun-ja" ?
Adapun perintah2
Agama itu tidak sama sifatnja. Ada perintah jang maknanja itu tidak ma'qul
dengan 'illatnja, jakni jang maksud dan tudjuan atau sebabnja tidak diterangkan
oleh jang punja pe rintah (Sjari') sedagkan tjara2-nja mengamalkan perintah itu
diatur dan ditetapkan oleh Sjari' itu sendiri (dengan nash Quran ataupun dengan
sunnah Rasul).
Perintah jang
matjam ini, ialah seperti salat, puasa dan jang sebangsanja, jang semua itu
adalah termasuk golongan „dien" jang kita harus pulangkan kepada Rasul,
jakni kita terima dengan „bila kaifa" dan kita amalkan persis sebagaimana
jang ditetapkan oleh Sjari', jang punja perintah. Tak ada hak kita mengubah
atau mengurangi dan menambahnja dengan akal kita sendiri. Dalam „dien" atau
ibadah ini semua terlarang, ketjuali jang sudah disuruh 1
Ada lagi
perintah Agama jang maknanja ma'qul dan tjukup pula keterangan2 Agama jang
menundjukkan 'illatnja. Jang sematjam ini misalnja perintah membela anak jatim
dan orang terlantar, perintah berbakti kepada ibu-bapa dan lain2 lagi jang sebangsa
itu pula, jakni jang pokok-perintahnja dari Agama, tapi tjara2 melakukan perintah
ini tidak diatur oleh Agama melainkan diserahkan kepada kita, asal tertjapai
jang dimaksud oleh perintah itu menurut
jang sesuai
dengan dunia atau zaman kita masing2.
Zat perintahnja
bersifat „Dieny" sedangkan tjara mengamalkannja bersifat „Dun-jawy".
Maka diluar dari
beberapa perintah Agama seperti jang –disebutkan diatas ada lagi ber-matjam2
urusan, jang tidak terhitung banjaknja, jakni urusan jang tidak diatur oleh
Agama. Urusan ini ber-matjam2 sifatnja serta ber-ubah2 bilangannja menurut
zaman dan tempat. Untuk semua hal ini, kita dimerdekakan mengaturnja sendiri,
asal didjaga, had dan batas2 jang diterangkan Agama djangan terlanggar. Dalam
urusan keduniaan jang 100% ini, jang
mungkin ada dan
mungkin timbul dengan atau tidak dengan aturan Agama, pada dasarnja semua dibolehkan,
ketjuali jang sudah dilarang oleh Agama.
Matjamnja tidak
terhitung, banjaknja tidak terbatas. Disini akal-merdeka mendapat
lapangan jang mahaluas. Bukan sadja si akal boleh, tapi malah disuruh
dan didorong ia oleh Agama
supaja bekerdja
keras se-merdeka2-nja dilapangan ini. Digemarkan si akal oleh Agama
supaja mengambil dan memegang inisiatif ditempat ini untuk kebaikan dan
ketinggian keselamatan manusia „Barang siapa memulai suatu tjara keduniaan
jang baik, dia akan
dapat gandjaran
dan pahala sebanjak gandjaran dan pahala orang1
jang mengerdjakan tjara jang baik jang dimulainja itu". (H.s.r.Muslim).
Adapun jang
dinamakan orang „djumud" dan mati-ruh, ialah mereka jang tidak suka
mempergunakan kemerdekaan mengatur keduniaan jang telah diizinkan oleh Islam
itu. Rasulullah menjuruh membersihkan gigi. Tapi tidak beliau tetapkan dengan
apa dan bagaimana harus membersihkannya. Tapi memang masih ada sebahagian kaum
kita jang enggan mempergunakan sikat gigi melainkan memakai akar kaju
sebagaimana jang dipakai
oleh Rasulullah
dan Sahabat2 dizaman dahulu itu. Rasulullah naik mimbar diwaktu salat Djum'at,
memberi nasihat dan peringatan kepada semua orang (orang Arab) dalam bahasa
jang bisa dimengerti dan dipaham mereka itu. Sekarang masih banjak dari kaum
kita jang tidak berani dan tidak mau memberi nasihat dan berchotbah itu kepada
kita orang Indonesia dalam bahasa Indonesia itu sendiri, jakni jang sama2 dipaham
baik oleh si chatib ataupun oleh segala jang hadir. Inipun dilakukan dengan
alasan : „menurut Sunnah Nabi". Begini sikap mereka dalam urusan2 jang
ma'qulul-ma'na, suruhan2 jang tjara dan alat mengerdjakannja telah diserahkan
kepada kita, asal jang ditudju dan jang mendjadi pokok dari suruhan itu dapat ditjapai.
Ini tidak berarti bahwa sebahagian dari kaum kita inipun djuga tidak herani
memakaikan putaran akal merdeka dalam, soal2 ibadah jang kita tidak mempunjai
kemerdekaan menukar, mengurangi dan menambahnja.
Mereka bisa
mempergunakan akal mempertahankan umpamanja azan dikubur dan lain2. Sedangkan
Rasulullah tidak pernah suruh atau tjontohkan melakukan peribadahan (ritus)
jang sematjam itu dan ini bukan satu urusan dunia jang boleh diserahkan kepada
kita. Dalam urusan keduniaan mereka hendak kembali dari zaman prophylactic kezaman
akar-kaju dengan alasan „menurut Sunnah Nabi"; dalam urusan peribadahan
dan perintah2 jang sudah ditetapkan tjara dan alatnja, mereka memakaikan
„rasionalisme" dengan alasan
„bid'ah-hasanah"
!
Paradoxaal ?
Boleh djadi!Akan tetapi ini semua berlaku didepan kita ! Semua ini berlaku lantaran
tidak meletakkan sesuatu pada tempatnja. Lantaran salah pasang ! Lantaran
kurang periksa dan kurang selidik. Kepada sebahagian kaum kita jang begini
kalau kita hendak berseru, kita harus serukan :
„Perhatikanlah,
periksalah, dan pedomanilah sabda Rasulullah tentang manakah kita harus
menjerahkan urusan kepadanja 100%, tentang manakah kita diberi kemerdekaan
mengatur sendiri". Serukan kepada mereka jang mengaku bermazhab Hanbali:
„Turutlah fatwa Imam Ahmad ibn Hanbal, tatkala ia berkata : „Djangan engkau
bertaklid kepadaku, djangan kepada Malik, djangan kepada Tsauri, tetapi
ambillah (Agamamu) dari mana mereka ambil
(jakni Quran dan
Sunnah !)". Serukan kepada mereka jang bermazhab Maliki: „Turutlah
perkataan Imam Malik, tatkala ia berfatwa : „...perhatikanlah keputusanku.
Tiap2 jang tjotjok dengan Kitab Allah dan Sunnah, ambillah, dan tiap2 jang
menjalani Kitab Allah dan Sunnah, tingalkanlah !" Serukan kepada mereka
jang bermazhab Imam Hanafi : „Perhatikanlah peringatan Imam Abu Hanifah,
tatkala ia berfatwa : „Tidak halal seseorang berfatwa dengan perkataan kami,
melainkan sesudah ia mengetahui dari mana kami mengambilnja." Serukan
kepada mereka jang bermazhab Sjafi'i: „Perhatikan fatwa Imam Sjafi'i, tatkala
ia berfatwa: „Apabila sah kabar (dari Nabi) jang menjalahi mazhabku, maka
turutlah kabar itu, dan ketahuilah, bahwa itulah mazhabku !" Serukan kepada
semua kaum kita ini: „Perhatikanlah sabda Rasulullah s.a.w., tatkala beliau
bersabda : „Bila ada urusan ,Aien" kamu serahkanlah kepadaku, bila ada
urusan „dunia" kamu, maka kamu lebih mengetahui akan urusan duniamu
sendiri!" Kalau sekarang ini kita perlu berseru kepada mereka, inilah
jang harus kita serukan. Tidak akan berhasil bila kita serukan umpamanja :
„Hapuskanlah Asj'arisme dan pakailah akal merdeka 100% ! — Bukan !" Al- Asj'ari
tak pernah memfatwakan harus bertaklid-buta, tidak pernah menjuruh kita „salah
pasang". Sedangkan akal merdeka itu sendiri tidak bisa memperlindungi kita
dari „keliru pasang" jang tadinja kita hendak hindarkan. Disini ia bisa
membetulkan satu salah pasang, disana ia mungkin melakukan salah
pasang sendiri jang lebih besar !
Ir. Soekarno
pernah megemukakan satu tamsil tentang djilatan andjing: „Pada suatu
hari saja punja andjing mendjilat air didalam pantji didekat sumur. Saja punja
anak Ratna Djuami berteriak : „Papie, Papie, si Ketuk mendjilat air didalam
pantji." Saja mendjawab : „Buanglah air itu, dan tjutjilah pantji itu beberapa
kali bersih2 dengan sabun dan creoline." ,Ratna termenung sebentar.
Kemudian ia menanja : „Tidakkah Nabi bersabda bahwa pantji ini mesti ditjutji
tudjuh kali, antara satu kali dengan tanah !" Saja mendjawab: „Ratna,
dizaman Nabi belum ada sabun dan creoline. Nabi waktu itu tidak bisa
memerintahkan orang memakai sabun creoline !" Muka Ratna mendjadi terang
kembali! Itu malam ia tidur dengan roman muka jang seperti bersenjum, seperti
mukanja orang jang mendapat kebahagiaan besar. Mahabesarlah Allah Ta'ala,
mahamulialah Nabi jang Ia suruh !" 60)
Ini adalah satu
tjontoh jang memang orang tidak akan begitu lekas dapat menentukan tempatnja,
umpamanja tidak selekas menempatkan sembahjang dalam ruangan „dien"
dan tjara menutup aurat dalam kalangan „dun-ja", menurut istilah
pesanan Rasulullah jang telah saja bawakan keterangannja. Tapi keraguan dalam
menempatkan soal2 jang matjam ini bukan timbul dalam zaman sabun dan kreolin
sebagai zaman kita sekarang ini sadja, malah telah djadi kadji orang djuga beberapa
abad jang silam pada sebelum kita, umpamanja sadja dalam masa kakeknja Ibnu
Rusjd (lihat Bidajatul-Mudjtahid).
Kakeknja Ibnu
Rusjd djuga berpendapat bahwa bekas djilatan andjing itiTboleh ditjutji tidak
dengan tanah, asal bersih sadja. Terlebih dulu ia tetapkan bahwa djilatan
andjing itu adalah nadjis: (Apakah alasannja untuk itu tjukup atau
tidak, tidak djadi pokok pembitjaraan kita sekarang). Sesudah itu ia kiaskan
tjara membersihkan bedjana itu kepada tjara2 menghilangkan nadjis2 jang lain, jakni
boleh diatur tjaranja bagaimana jang baik, asal 'am-nja nadjis itu hilang. Tapi
tentu lain pihak bisa pula berpendapat lain. Pihak lain bisa berkata : Hal ini
tidak bisa disamakan dengan masalah akar kaju dengan sikat gigi. Disini
Rasulullah dengan terang dan tegas menentukan apakah jang harus kita kerdjakan
dan apakah alatnja jang harus dipakai kalau ada djilatan andjing atas bedjana. Disini
tidak ada satu keterangan bahwa djilatan andjing itu adalah nadjis hukumnja.
Oleh karena itu mentjutji bedjana tudjuh kali, dan satu kali diantaranja dengan
tanah itu tidak bisa disamakan dengan menghilangkan nadjis jang telah kita
ketahui, jang tjara membersihkannja diserahkan kepada kita. Djadi disini kita
harus beranggapan bahwa tjara mentjutji-dengan-tanah itu sebagai satu upatjara
(ritus) jang sudah diatur tjara2-nja, seperti mengambil wudu' dan lain2 itu,
jang djuga tidak diterangkan 'illatnja serta djuga tidak ma'qul kerdjanja.
Apakah hikmahnja
mentjutji bedjana dengan tanah demikian itu? Ini, masing2 kita boleh turut
memikirkannja. Boleh kita pakaikan akal kita pentjari hikmahnja. Boleh djadi
nanti kedapatan bahwa tanah itu ada mengandung obat, mengandung sinar
radio-aktif dan lain2 sebagainja. Tapi boleh djadi djuga, tidak ! Namun begitu,
walau bagaimanapun, hikmah itu ditakdirkan sudah dapat atau belum-dapat, tidak
boleh dipakai djadi 'Ulat dan sebagai alasan untuk mengubah zat dan
tjacanja upatjara itu, sebagaimana djuga kita bisa mentjari dan
me-ngira2-kan apakah hikmahnja kita salat, tapi tetap salat itu sendiri tidak
boleh di-tukar2 tjacanja, dengan sebab berdasar kepada hikmah2 jang telah
atau akan diperdapat oleh akal kita.
Umpamanja lagi,
sekarang dengan mikroskop kita sudah bisa dapat tahu bahwa pada lidah andjing
itu ada terdapat mikrob2 jang bisa mengganggu kesehatan manusia. Baik ! Akan
tetapi semata2 ini sadja belum bisa memberi kita hak untuk membuang tjara mentjutji
jang-telah ditetapkan oleh Rasulullah itu. Paling bisa, pendapat kita dengan
perantaraan mikroskop kita itu, medjadikan masalah djilatan-andjing itu
terpetjah djadi dua masalah, jaitu masalah 'ubudijah dan masalah
kesehatan (kebersihan). Mendjaga kebersihan itu diperintah oleh
Agama kita. Tjaranja kita mendjaga kebersihan itu diserahkan kepada kita,
menurut ilmu kesehatan dizaman kita dan dengan alat2 jang ada dalam masjarakat
kita. Kalau kita dapat tahu bahwa djilatan andjing itu ada mengandung mikrob
dan kita buang mikrob itu dengan sabun atau karbol, atau kita rebus dan kita
bakar dengan spiritus sampai steril sama sekali, — jang demikian adalah satu
amal keduniaan mendjaga kebersihan jang dengan tjara umum djuga sudah disuruh
oleh Agama. Akan tetapi semua ini tidak menghilangkan bahagian 'ubudijah
dari masalah ini, jakni suruhan mentjutji dengan tanah, Demikia
djuga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam salat itu ada sematjam
gerak-badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat tjara sport jang modern
dan praktis. Kita boleh kerdjakan sport itu, tapi apakah bisa salat itu lantas
ditukar sadja dengan badminton, umpamanja ? Tentu tidak bisa, bukan ?
Kita lihat dalam
salat ada sematjam tjara menjatukan-fikiran (gedachtenconcentratie). Sekarang
kita mendapat tjara jang „praktis" untuk membulatkan-fikiran itu. Selama
tjara jang kita perdapat itu tidak terlarang, boleh sadja dilakukan, akan
tetapi tetap salat tidak bisa ditukar dengan tetirah ke-hutan2 seorang
diri umpamanja. Maka bila perlu, pihak jang berpendapat begini, pun bisa pula mengemukakan
satu perumpamaan tentang masalah „djilatan andjing" itu, misalnja sadja
begini:
Ditakdirkan
besok-lusa anak saja datang mengatakan: „Ba ! si Kumbang mendjilat pantji.
Tjukupkah kalau ditjutji dengan - sabun dan kreolin sadja V'
Saja akan djawab
: „Sekedar mendjaga kebersihan kita, itu sudah tjukup. Akan tetapi untuk
menjempurnakan suatu suruhan Agama jang harus kita terima dengan ta'abbudi, tjutjilah
pantji itu pakai
tanah saru kali dan Undangi dengan air bersih2 sampai enam kali.
Sekarang, bila kuatir kalau2 pada bekas djilatan andjing itu ada bakteri2,
tjutji pulalah sekali lagi dengan lisol atau kreolin dan jang sematjam itu
!"
Kalau saja
djawab begitu, saja jakin bahwa anak sajapun akan tidur pada malamnja dengan
njenjak dan mukanjapun akan ber-seri2 lantaran hygienische zin-nja sebagai anak
dari zaman bakteriologi dan hygiene sudah ia puaskan dengan tjara jang ia telah
dimerdekakan oleh Agama melakukannja sedangkan disamping itu ia telah
sempurnakan pula satu suruhan 'ubudijah terhadap Tuhan dengan tjara jang telah
diterangkan oleh Rasulullah,s.a.w. „.. .Mahasutjilah Tuhan jang mengetahui akan
apa jang njata
dan apa2 jang
gaib dari akal dan pantjaindera hamba2-Nja..." Dan..., saja sendiripun
rasanja akan tidur njenjak pula lantaran merasa beruntung mendapat kesempatan
mendidik anak saja dari ketjil mempergunakan hasil2 dari ilmu dan kebudajaan
abad ke-20 ini, sambil menghormati akan suruhan2 Agama, dan agar mudah2-an
nanti apabila ia tamat sekolah tinggi, ia tidak lekas mendjadi maghtur dengan
kelandjutan akaLmerdekanja dan memandang rendah kepada adjaran2 Agama
sebelum memeriksa dan menjelidiki lebih dahulu, amin!..."
Begitu, kata
pihak jang sebelah lagi!
Pembatja jang
budiman, Kita bawakan dua aliran paham jang diatas itu, bukan untuk mengadjak
tuan2 pembatja mempersoalkan masalah ini sampai puas dihalaman buku ini. Bukan
! Masing2 kita bisa turut memikirkan dan memeriksa sendiri manakah dari kedua
paham tersebut jang ia setudjui serta manakah lagi alasan2 atau huddjah jang
mungkin dikemukakan untuk penguatkan pendirian masing2. Jang mendjadi tudjuan
kita sekarang, bukan masalah itu sendiri, tapi jang djadi pokok ialah dasar-pendirian,
levenshouding dari masing2 pihak, jang didjadikannja dasar untuk
memperbintjangkan masalah2 Agama. Masalah djilatan andjing atas bedjana ini
hanja satu tjontoh dari beberapa masalah Agama jang seperti itu. Dari tjontoh
jang sebuah ini kita dapat menjusuli, apa dan bagaimanakah bentuknja dasar2
pendirian, levensbeschouwing, grondgedachte, jang akan menentukan sikap masing2
pihak terhadap masalah Agama umumnja. Inilah jang akan djadi uraian kita
selandjutnja.
VI
Diatas kita
sebutkan bahwa masalah djilatan andjing itu kita bawakan, bukan untuk membahas
masalah itu sendiri, tetapi adalah untuk memperbandingkan ber-matjam2 dasar
pendirian dari masing2 gologan jang mempunjai pendirian jang berlainan terhadap
masalah jang serupa ini. Dari keterangan diatas, kita- dapati tiga matjam
dasar :
Pertama : jang mengatakan djilatan
adjing ku nadjis. Lantaran itu harus dibersihkan tjara bagaimana sadja,
asal zat-nadjisnja itu hilang seperti membersihkan nadjis jang lain2 djuga.
Kedua : jang berpendapat
bahwa tak ada keterangan jang menghukumkan djilatan andjing itu nadjis. Dan
soal ini bukan se-mata2 soal kebersihan tapi satu masalah ubudijah, jang
tak ma'gul maknanja. Sekedar membersihkan djilatan itu, Agama telah
memberikemerdekaan dengan se-luas2-nja. Akan tetapi dengan „membersihkan" itu,
suruhan 'ubudijah tadi tetap harus dipenuhi menurut tjara jang telah
ditetapkan, tak dapat ditukar atau digantikan dengan jang lain. Walaupun putusan
kedua golongan ini berlainan, tapi pada hakikatnja dasar dan
sikap mereka terhadap Agama adalah satu. Andaikata golongan jang pertama
itu mendapat keterangan jang memuaskannja bahwa masalah ini adalah masalah 'ubudijah
se-mata2, sudah tentu mereka tidak akan enggan2 berkata : „Sami'na wa atha'na
J" kita akan lakukan apa dan bagaimana tjara jang sudah diperintahkan,
bila kaifa...!" Sebaliknja begitu djuga golongan jang kedua, andaikata
mereka mendapat keterangan Agama jang memuaskannya pula bahwa sesungguhnja masalah
itu adalah masalah „menghilangkan nadjis semata*", jang kita sudah
dimerdekakan Rasul bagaimana tjara mengaturnja asal 'ain nadjis itu
hilang, sudah tentu golongan jang kedua ini akan berkata pula : „Baik, kita
akan bersihkan dengan kreolin, dengan lisol, atau bagaimana sadja...!"
Apakah golongan
jang kedua, lantaran mereka tidak mau menukar tanah dengan kreolin
itu, lantas ditjela dituduh „djumud" dan „kolot", sedangkan
golongan jang pertama boleh dinamakan golongan jang memakai akal-merdeka
100%, merasionilkan Agama menurut kemauan zaman, — berhakkah kita menanami
demikian ?? Tidak, tidak! ! ■ '
Perlainan
keputusan mereka bukan disebabkan lantaran perbedaan dasar, tapi
se-mata2 lantaran bertikaian di waktu meletakkan soal itu : diruangan
„<fien"kah atau diruangan „dun-ja", seperti dimaksud sabda
Rasulullah jang telah kita bawakan diatas tadi. Keduanja beridjtihad, keduanja
memeriksa dan menyelidiki dengan akal mereka, melalui garis2 dan aturan2 jang
tertentu, tundukpatuh kepada undang2-tjara beridjtihad, berpedoman kepada
peraturan2 jang
telah ditinggalkan Rasulullah s.a.w. dalam menghadapi masalah2 jang seperti
ini. Akal mereka bukan akal-anarchi jang tak-kenal batas, tetapi ialah akal-berdisiplin
jang kenal dan tahu kedudukannya. Dasar pendirian jang
begini, adalah tidak sama dengan dasar pendirian jang ketiga, jang
misalnja berkata : „Tak usah pakai ta nah, lantaran dulu itu kreolin belum
ada, sedangkan sekarang sudah ada !" Orang jang berkata begini,
se-mata2 memakaikan akal-merdekan ja, perasaan-merdekanja, merdeka dari
garis tjara2 membahas
masalah2 Agama.
Apa jang difikirnja, dirasanja tidak up to date lagi, lantas di-„ap to
date"-kan, di-„interpretasi"-kan, d\~„verwer- A;en"-kan
dengan akal-merdeka seratus prosen!
Dengan demikian
besok-lusa akan ada jang akan berkata, umpamanja : „Kalau kita terpaksa
bertajammum djangan pakai tanah lagi. Dulu orang belum bisa pakai bedak wangi
jang lebih} hygienis dari tanah, sekarang sudah ada bedak wangi. Dus, kalau mau
salat
dan terpaksa
tajammum, boleh berbedak sadja!" Dan begitulah seterusnja. Dan mungkin
akan begitu terus-menerus...! Kesudahannja, jang kita perdapat sebagai hasil
dari akal-merdeka itu bukan lagi interpretasi-Agama, tetapi adalah likwidasi-Agama...\
Akal-merdeka 100% tidak menggariskan batas buat dirinja sendiri. Semua ia
mau atur, semua ia mau kritik, semua ia mau runtuhkan, ketjuali dia
(akal-merdeka) itu sendiri.
VII
Dengan apakah
kita hendak atur dan pimpin akal-merdeka ini selain dari pada dengan peraturan2
Agama ? ! Bagaimanakah kita harus mendjaga supaja akal-merdeka itu tetap
mendjadi lampu jang bersinar, penundjukkan djalan, djangan sampai berkobar,
menjiarbakar semua jang ada, — kalau tidak dengan menundukkanja kepada garis2-an
jang telah diberikan oleh Ilahi ? ! Kita kembali kepada pendirian mereka jang
tidak mau'menukar
tanah dengan
kreolin itu, dengan alasan bahwa masalah ini adalah masalah 'ubudijah, setelahnja
mereka beridjtihad dengan se-habis2 idjtihad. Kita bertanja : „Apakah
pendirian mereka jang seperti itu bertentangan dengan akal-merdeka" ? Djawabnja:
„Tidak ! Malah dengan ini si akal-merdeka mendapat dorongan buat mentjari hikmah
dari upatjara itu. Kalau belum
diketemukan
hikmahnja sekarang, boleh djadi nanti. Kalau tidak dizaman kapal udara ini,
barangkali nanti dimasa kapal stratosfeer. Tapi mungkin djuga tidak akan
bertemu hikmahnja itu sampai hari kiamat datang. Ja,... tetapi lantaran ini
dunia-wetenschap tetap tidak akan rugi, malah mungkin bertambah madju lantaran
tidak puas itu, karena ketidak-puasan itu mendorong berusaha terus...! Ditakdirkan
hikmah suruhan Agama ini tidak kundjung diperoleh djuga, hingga kita terpaksa
berkata : „wallahu alam !" Ja, apakah lantaran ini kaum intelek
kita akan mendjauhkan dirinja dari Agama ? Lantaran ada suruhan jang tidak
ma'qul maknanja, dan lantaran terpaksa berkata „wallahu alam" ? ?
Menurut
kejakinan kita, tidak ! Mereka tidak akan mendjauhkan dirinja oleh karena ini,
sebab tiap2 seorang intelek jang sebenarnja intelek, lebih insaf dan lebih
mengetahui bahwa pada hakikatnja dalam semua hal dan peristiwa, kita selalu
berdjumpa dengan „wallahu alam" itu. Tundjukkanlah satu aliran
wetenschap, sebutkanlah satu aliran filosofi jang tidak disudahi dengan
„wallahu a'lam". Tidak ada...!
Kita peladjaari
elektrisitet, kita pakai elektris se-hari2. Apakah elektris itu ? „Wallahu
a'lam !" Kita peladjari perdjalanan bintang2. Kita keker beribu bintang jang
ada dilangit. Kita ambil ber-matjam2 manfaat dari ilmu bintang itu. Apakah jang
ada dibalik bintang2 itu ? Apakah jang ada lagi dibalik kosmos itu? Wallahu a'lam!
Dan kalau besok atau lusa sesuatu jang sekarang masih dalam tabir „wallahu
a'lam" itu, sudah dapat djdjawab, maka dibalik djawaban itu akan
muntjul lagi sebuah „wallahu a'lam" jang baharu. Sekarang
kenapakah, bagaimanakah kalau ada dalam Agama satu- dua soal jahg pakai
„wallahu a'lam", lantas orang mau menghindarkan diri dari Agama itu dan
lari kepada wetenschap jang lebih penuh lagi dengan „wallahu a'lam-nja
?" Marilah sama2 kita renungkan dan kita kembali kepada kedjudjuran dan
keadilan dalam menentukan sikap kita selandjutnja. Wahai tuan2 dan saudara2
intelek, jang ulul-albab !
VIII
Saringan. . .
Kalau Islam
sekarang ini boleh diumpamakan dengan orang sakit, maka dapat dikatakan bahwa
dari dulu sampai dizaman kita sekarang, sudah amat banjaklah dokter2 jang
mentjoba mengobatinja supaja segar kembali sebagai sediakala. Ada „dokter"
jang datang dengan obat „sintese" jakni obat tjampur-aduk
sebagaimana jang diandjurkan oleh orang2 Teosofi jang berpendapat bahwa, semua
Agama, adalah sama2-baik dan lantaran itu kita ambil dari Islam mana jang baik,
diambil dari Kristen mana jang dirasa baik pula dan lain2. Dengan begitu tidak
ada bentrokan2, melainkan damai, aman dan sentosa. „Obat" ini, antaranja
diandjurkan oleh Inayat Khan cs. Achir kesudahannja menghasilkan satu
agama-gado2, Budha tanggung, Islam tidak, Kristen tak-tentu. Walaupun
bagaimana, jang terbit
dari perawatan
dokter jang matjam ini, bukanlah Agama Islam jang dibawa oleh Muhammad s.a.w. Ada
lagi „dokter" jang membawakan „rasionalisme", sebagaimana
kaum Mu'tazilah jang dizaman dulu membawakan akal-merdekanja. Lantaran mereka
berpendapat bahwa kalau Islam itu tidak bisa memuaskan akal menusia, maka ia
akan djatuh dari muka bumi ini.
Selama „rasionalisme" ini tahu
akan batas2 jang mesti dikerdjakannja memang banjak manfaatnja untuk
memperdalam dan menambah keteguhan iman serta perasaan-keagamaan. Perhatikanlah
zaman Mu'tazilah, zaman rasionalisme dalam Islam ! Disitu kita akan dapat tahu,
bahwa sebagai satu dorongan pertama untuk memetjahkan kebekuan perdjalanan akal
dalam masjarakat Muslimin dizaman itu dan untuk pembukakan pintu idjtihad jang
dizaman itu sudah mulai tertutup ber-angsur2, dengan timbulnja kesukaan
taklid-mentaklidi, sesungguhnja bukan sedikit djasanja pergerakan aliran Mu'tazilah
tersebut. Mufassirin sebagai Fachruddin Ar-Razi dan lain2 mentjiptakan tafsir
Quranus-sjarif, membawakan udara baharu, jang bertiup ke-tjelah2 kebudajaan Islam
diwaktu itu.
Fikiran
bertambah terbuka, keberanian berfikir bertambah besar. Critische zin, ruh
intiqad bertambah tadjam ! Akan tetapi dimana teori2 itu semua melantur
kesana-sini hendak mengupas Zat dan Sifat2-Ketuhanan dengan tiada mengindahkan batas,
dimana si mu'tazil (rasionalis) itu memutarkan otaknja supaja ,,turut2-tjampur"
dalam Iradah Ketuhanan, serta hendak membatas2- i Kodrat Ilahi, maka disana
mulailah faham Mu'tazilah atau rasionalisme itu menyinggung dan melukai tali
getaran djiwa manusia jang amat halus, jaitu djiwa jang haus dan dahaga
kepada perhubungan ruhani antara dia dengan Chaliknja jang Mahabesar dan
Mahasutji. Perhubungan ruhani tersebut bukan perhubungan berupa kontrak antara
Tuhan dengan manusia, jang berbunji: „Kalau saja berbuat baik, mesri mendapat
gandjaran dan kalau saja berbuat salah, Tuhan mesrf memberi hukuman". Dan
bukan pula perhubungan jang berupa soal-djawab seumpama : „Kenapa aku dibiarkan
hidup sedangkan Engkau (Tuhan) tahu jang aku akan djadi pendjahat V', atau
„Kenapa aku tidak dibiarkan hidup lebih lama supaja aku dapat berbuat baik V'
Atau : „Mengapa aku tidak dimatikan diwaktu masih kanak2 supaja aku djangan
djadi orang berdosa ? !", dan lain2 sebagainja. Bukan, bukan begitu !
Bukan perhubungan ruhani seperti 2 X 2 = 4 ini, jang dihadjatkan oleh djiwa dan
sanubari manusia terhadap Chaliknja. Bukan, sekali lagi bukan...!
Boleh djadi
adjaran2 Agama itu akan djatuh dan turun dimata orang2 jang terakal, bila kita
larang memakai akal sama sekali (padahal sebenarnja Agama Islam tidak melarang
demikian). Boleh djadi! Akan tetapi jang sudah terang ialah bahwa Agama Islam
itu akan
tinggal kerangkanya
sadja lagi, akan tinggal tengkoraknya sadja lagi, apabila kita
biarkan siakal-merdeka-100% „merasionalisasikan" Agama dengan tiada
mengenal batas, apabila dibiarkan si-akalmerdeka itu melepaskan semua
kriterium, melepaskan semua ukuran-ke-Agamaan serta hendak berhakim kepada diri
sendiri, atau „berhakim kepada riwajat", atau berhakim kepada
„histori" se-mata2. Jang dihadjatkan oleh djiwa manusia, ialah
suatu Agama jang Agama itu mendjadi kriterium, mendjadi hakim, mendjadi
ukuran jang absolut, menentukan apakah sesuatunja benar atau salah...!!
Disini terletak keperluan kita kepada Agama ! Adapun konsekwensi atau
akibat jang terachir dari aliran fikiran seorang rasionalis atau seorang
penganut historis-materialis, ialah bahwa Agama itu hendak didjadikannja suatu objek,
suatu bahan jang akan dikupas dan dihadapkannja kepada hakim akal-merdekanja
dan kepada „petdjalanan~riwajat"-nja. Semua hendak dilihat dengan
katja-mata riwajat, segala hendak dihukum menurut aliran riwajat. Baginja,
Agama itu ialah satu „historisch verschijnsel". Baginja tak ada jang
salah, tak ada jang benar, melainkan terserah kepada riwajat, riwajatlah jang
akan mendjawab „salah" atau „benar".
Sekali lagi,
maksudnja bermula boleh djadi hendak meng-interpretasi Agama, tetapi
akibat jang dihasilkannja ialah likwidasi Agama. Ada pula „dokter"
jang datang membawakan obat „perasaan" se-mata2. Semua
dipulangkannja kepada „perasaan-keagamaan", kepada „religieus
gevoel". Sjari'at jang terang2, sunnah jang njata2, tidak ia
pedulikan. Semua hendak dita'wilkan menurut „perasaankeagamaan". Jang
beginipun kalau sudah lepas dari batas2 Agama jang telah diberikan
Rasulullah s.a.w., — jang membawa dan jang berkewadjiban
serta berhak meng-artikan,
meng-interpretasikan Agama itu, tidak kurang bahajanja. Telah pernah timbul
ber-matjam2 „tarikah", jang mempunjai i'tikad pantheisme, telah
timbul ber-matjam2 „guru" jang tidak gugup mengatakan „Ana Al-Haqq
!", —- „Dalam aku inilah Tuhan !", dan lain2 jang sematjam itu.
Peladjaran
apakah jang dapat kita ambil dari semua ini ? Ialah, bahwa Islam itu pada
hakikatnja tidak perlu kepada „dokter" dari luar. „Lepaskanlah
singa itu, tentu dia akan sanggup mempertahankan dirinja sendiri!" Kemukakanlah
Islam itu sebagaimana jang dibawa dan jang diterangkan serta ditafsirkan oleh
Muhammad s.a.w. sendiri. Tidak ada satu interpretator jang lebih berhak
serta lebih benar interpretasinya selain Rasulullah sendiri. Islam jang
matjam itu, Islam jang bersih dari segala matjam tambahan manusia
dibelakangnja, tak usah kuatir akan „djatuh" merknja dimata siapapun
djuga. Jang perlu bagi kita bukan „memudakan" pengertian Islam,
tetapi adalah „memudahkan" pengertian Islam itu. Kalau kita bertemu
dengan salah satu aturan Agama, kita selidiki dimanakah tempatnja. Dikalangan
,,dien"-kah atau dikalangan „dun-ja"kah ! Bila masuk bahagian
„dien", kita djangan ber-susah2 serta berbanjak falsafah lagi. Terima
ta'at bila k a i f a ! Sebagaimana Saidina 'Umar berkata diwaktu ia
hendak mentjium batu hadjrul-aswad : „Aku tahu bahwa engkau ini batu jang
tidak mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan mudharat! Kalau aku tidak
lihat , Rasulullah s.a.w. mentjium engkau sudah tentu aku tidak akan tnentjiummu
l", lalu ia tjium batu itu. Habis perkara ! Lantaran jang demikian ini
adalah bahagian 'ibadah, jang perlu kita serah- kan soalnja kepada Rasul
sendiri; kewadjiban kita hanja menurut. Dalam urusan 'ibadah ini tak ada
jang bisa dan patut dimudak r?. Peraturan2 ibadah terhadap Ilahi ini
bersifat „eeuwig", kekal, tak ; pernah muda, tak pernah tua serta tidak
dipengaruhi zaman.
Sebaliknya kalau
ada satu urusan jang bersifat ,,dun-jawy" semata2, kita periksa
lebih dulu, apakah ada larangan terhadap itu atau tidak. Kalau ada larangan,
tinggalkan! Habis perkara ! Islam harus mendjadi Hakim l Bukan
urusan itu dihadapkan kepada hakim- riwajat, bukan kalau kita hendak termasuk
orang jang patuh dan ta'at terhadap adjaran Muhammad s.a.w. ! Andaikata dalam
urusan keduniaan itu tidak ada larangan Agama terhadapnja, ajo kerdjakan
! Tak usah bimbang2 dan timbang2 ini dan itu lagi. Asal hudud (batas) Agama
djangan ada jang terlanggar lantarannja, djalankan !
Tjapailah
kemodernan, ikutilah panggilan zaman dalam lapangan jang begitu luas dan begitu
lebar ! Disini tidak ada salah-satu ikatan jang harus „dikaretkan" terlebih
dulu. Tidak ! Sebab memang diruangan jang demikian tidak ada ikatan Agama sama
sekali. Diruangan ini, mana jang tidak terlarang, artinja boleh ! Jang ada
dalam Islam terhadap lapangan ini bukan ikatan, tetapi dorongan, dorongan
merintis djalan, dorongan mengambil inisiatif. Waktu Mu'adz hendak dikirim
ke aman mendjabat Kadhi, ia ditanja oleh Rasulullah s.a.w. : — ,,Dengan apakah
engkau mendjalankan hukum T' —- „Dengan Kitab Allah !", djawabnja.
— „Kalau engkau
tak dapati (keterangannja dari Al-Quran) T' ~ „Dengan sunnah
Rasul!", djawabnja lagi. — „Kalau engkau tak dapati pula keterangannja
dalam sunnah Rasul T'
■—„Saja
beridjtihad dengan akal saja, dan saja tidak berputus asa !
Soal-djawab
diatas ini banjak memberi petundjuk kepada kita untuk zaman modern sekarang ini
dalam menentukan sikap kita terhadap ber-matjam2 aturan Agama. Begini ruh
dan spirit Islam, Spirit of the Sunnah jang dipakai oleh Sahabat2
Nabi dan dibenarkan oleh Nabi sendiri. Dan disampaikan kepada kita untuk
diambil sebagai pedoman. Jang perlu lagi bagi kita sekarang, bukan sadja
menyerahkan kepada kaum kita supaja djangan ber-„qala wa qila" sadja
kepada Imam Anu dan Kjai Fulan, tetapi djuga menjampaikan supaja sebahagian
besar intelek
kita djangan hev-„autos-epha" sadja kepada Prof. Anu dan Doktor
Fulan. Jang perlu bagi kita bukan sadja berseru kepada kaum kita : „Djangan
engkau terima sesuatu jang engkau tak mempunjai ilmu tentang itu !", akan
tetapi kepada pihak jang satu lagi harus kita berseru djuga : „Djanganlah
saudara menolak sesuatu urusan jang saudara belum selidiki apa jang saudara
hendak tolak itu !" Dan bukan sadja perlu kita serukan kepada bangsa
kita supaja dalam urusan keduniaan djangan hanja berfanatik kepada „masjarakat
onta dan pohon korma" sadja, tetapi djuga perlu kita serukan supaja
dalam urusan „dien" djanganlah mereka sangat teperdaja oleh „masjarakat
kapal-udara dan televisi" !
Hanja dengan
begitu, moga2 bangsa kita akan dapat mengetjap inti dan sarinja,
spirit dan kekuatan-batinnja dari Agama Islam ini, dan bukan lagi
sekedar dupa dan kemenjannja, korma dan tasbihnja dengan alasan
„menurut-sunnah" sebagaimana jang memang masih ada sekarang ini. Dan
dengan demikian insja Allah kita akan mengetjap tehnik dan dinamiknja,
organisasi dan presisinja dari kebudajaan abad ke 20 ini, bukan lagi
sekedar vrij-omgang dan dansa-dansinja, decollete dan gemengd-badnja dengan
alasan „menurut-
zaman"
sebagaimana sekarang mulai berdjangkit!
Dari Pandji
Islam.
0 comments:
Post a Comment