Kegalauan
Pemikiran tentang Al-Quran
Seperti
yang dipaparkan sebelumnya bahwa sesunguhnya pemikiran Ahmad Wahib bukanlah
orisil pemikirannya sendiri namun lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran islam
liberal-sekuler dari Timur tengah, semisal Prof. Dr. Nash Hamid Abu Zayd. Corak
pemikiran tentang Al-Quran, baik dari tafsir atau implementasinya sangat kental
merasuk dalam setiap kata dalam tulisan Ahmad Wahib saat menuliskan “renungan”
hariannya dalam memahami Al-Quran. Sebagai contoh adalah kata-kata Ahmad Wahib
dalam tulisnnya yang dikutip langsung dari buku “Pergolakan Pemikiran Islam”
Apakah kalimat-kalimat dalam Al-quran itu memang asli dari dari tuhan atau berasal dari nabi Muhammad sendiri (dengan berdasar pada wahyu berupa “ispirasi sadar”) yang diterima dari Tuhan ?Kalau yang pertama yang terjadi, maka proses “ideation” akan sukar untuk dibenarkan, kata – kata tuhan itu mesti tertuju pada seluruh ruang dan waktu baik harfiah maupun maknawi!.( hal 107, 9 april 1970)Sehubungan dengan islam saya ingin menyinggung soal kalam. Saya kira dengan mengetakan bahwa alquran bukan wahyu Allah, justerusaya lebih memuliakan Allah, mengagungkan Allah. (hal 132, 15 september 1970)Saya sangat tidak setuju akan cara-cara orang-orang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Saya melihat bahwa Asbabul Nuzul atau semangat waktu turunnya ayat itu kurang dilihat. Sungguh saya benci dengan pemerkosaan ayat-ayat Al-Quran dan lafal-lafal hadits sekarang ini dalam pemakaian maupun penafsiran. Biar aku akan menempuh jalan ku sendiri.“Katakanlah Kebenaran, walau karihal kaafirin, walau karihal musyrikin”. Juga “Mengapa kamu angkat orang-orang kafir sebagai pemimpin-pemimpin islam?”. Ayat-ayat Al-Quran semacam ini digunakan oleh propagandis-propagandis kita untuk membakar semangat massa. Mereka kurang sadar perbedaan antara situasi di zaman nabi dengan situasi sekarang.... kembalikanlah pada konstelasi di zaman Nabi, baru kita berhak menggunkan ayat tersebut sekarang atau tidak. (hal 26, 15 Juli 1969)
Tulisan tersebut sangat meragukan bahwa
Al-Quran adalah kalamullah yang langsung difirmankan dal disampaikan Nabi
Muhammad secara persis tanpa ada yang dikurangi satu hurufpun. Ahmad Wahib
mencoba mengatakan bahwa sesungguhnya
Al-Quran adalah teks biasa seperti halnya teks surat kabar atau tulisan
di buku. Bukan wahyu yang benar.
Tidak
mengherankan apa yang telah ditulis oleh Ahmad Wahib, bukan sesuatu yang baru.
Hal tersebut telah dilontarkan sebelumnya oleh Nasr Hamid Zayd. Dia mengatakan
bahwa Al-Quran adalah Produk budaya, Fenomena Sejarah, Teks manusiawi, Teks
Linguistik. Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam Al-Quran masih ada
karena teksnya adalah teks manusiawi. Akibatnya dalam penafsiran Al-Quran pun
masih ada mungkin berkembang dan menyesuaikan zaman dan tidak ada penafsiran
yang mutlak benarnya tentang Al-Quran.
Sehingga dalam memahami Al-Quran menggunakan metode interpretasi Al-Quran yang
ilmiah-objektif, lebih konstekstual dan tidak bersifat dogmatis sektarian.
Sehingga lebih menekankan pada superioritas data empiris dan menjadikannya
sebagai landasan pokok berbudaya dan beragam.
Kalau
kita lihat, pernyataan-pernyataan dari gagasan Ahmad wahib yang terilhami oleh
pemikiran Nasr Hamid Zayd ingin mencoba mendudukan Al-Qur’an sebagai teks
sejarah, produk budaya yang dalam penafsirannya harus dikaji secara ilmiah dan
objektif yang tidak terikat dalam dogma, mengedepankan penafsiran rasional dan
menekankan pentingnya kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks
keagamaan. Sehingga penafsiran-penafsiran yang selama ini ada yang menggunakan
dasar mengikuti kaidah adalah bentuk penafsiran yang terpasung, tidak ilmiah,
tidak rasional dan masih berbau mitos. Penafsiran dengan cara menafsirkan ayat
dengan ayat, ayat denan Alhadits dan sebagainya dianggap tidak objektif dan tidak
rasional.
Tafsir
modern yang coba digagas oleh kalangan cendikiawan modern adalah metode
hermeneutika. Hermeneutika sendiri adalah metode penafsiran yang pernah
diterapkan pada bible dengan ruh yang selalu
cenderung merelatifkan hal-hal yang jelas, permanaen dan disepakati oleh
ulama berwibawa (ijma’). Sehingga dengan begitu, kebenaran Al-quran tidak lagi
bersifat absolute, menggiring pada relativisme wahyu dan tafsir Al-Quran.
Dampaknya adalah semua orang tanpa kualifikasi dan dengan beragam laterbelakang
keilmuannya mempunyai hak yang sama menafsirkan Al-Quran dan tidak berhak
meng-klaim penafsirannya paling benar
dan yang lain salah tanpa melihat metodologi penafsirannya.
Menjawab Kegalauan
Pemikiran
Semua
orang muslim pasti sudah menyakini bahwa Al-Quran adalah Firman Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, kemudian diwariskan
secara mutawatir tertulis dalam mushaf dan membacanya adalah ibadah (Dr.
Muhammad ibn lutti, al-sabagh). Firman-firman Allah dalam Al-Quran tidak dapat
dimengerti, dipahami makna-makna yang ada kecuali dengan adanya Tafsir terhadap
Ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Maka dalam memahami wahyu tersebut perlu
adanya Tafsir yang benar terhadap setiap ayat-ayat Al-Qur’an. Tafsir sendiri
menurut bahasa berarti menjelaskan dan menyingkap. Sedang makna terminologisnya
adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW,
menjelaskan makna-maknanya, menggali hukum dan hikmah yang terkandung
didalamnya. Sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak dilakukan oleh
sembarang orang, ada kriteria-kriteria tertentu dan ada beberapa ilmu yang
menopang dalam menafsirkan setiap ayat, misalnya ilmu Nahwu, sarf, imu bayan
(rhetoric), ilmu usul Fiqh, ilmu qira’at, asbab nuzul dan nasikh wan mansukh.
Selain itu juga harus mengerti gramatika serta kaitan ayat dengan ayat
sebelumnya atau surah dengan surah sebelumnya.
Ahmad
Wahid dan orang-orang yang berfikiran bahwa Al-Quran adalah Teks Insani adalah
salah besar, karena Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad yang buta huruf sehingga tidak mungkin rasulullah membuat teks-teks
Al-Qur’an. Perlu kita ketahui bahwa konsep Wahyu dalam Islam adalah bahwa
Ajaran Islam tidak dapat dipahami dengan selain wahyu, sehingga dengan
mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu merupakan menjauhkan dengan pemahaman
yang benar terhadap islam, karena Al-Qur’an sangat berkaitan rukun iman, iman
kepada kitab dan iman kepada Nabi dan Rasul.
Sebagai
contoh adalah adanya surat Abasa yang isinya menegur Rasulullah sendiri. Kalau memang benar
Rasulullah membuat kitab Al-Quran itu. Seharusnya surat itu disembunyikan dan
tidak akan diajarkan kepada para sahabat. Kedua, dalam Al-Quran banyak kita
temukan awalan ayat yang menggunakan kata “qull” yang berarti “katakanlah”.
Logikanya jika ada si A memerintahkan kepada Si B untuk mengumumkan sesuatu,
maka Si A akan mengatakan kepada si B “tolong umumkan, bahwa nanti ada rapat di
balai RW” dan yang dikatakan Si B dalam mengumumkan tidak lagi dimulai dari
“tolong umumkan..”, tetapi langsung pada “ Nanti ada rapt di balai RW”. Begitu
juga Al-Quran, misal dalam Surah Al-ikhlas, Allah berfirman “qul huaallahu
ahad”, nabi menyampaikan itu ke sahabat bukan “Huaallahu ahad”, tetapi tetap
sama dengan apa yang telah diwahyukan secara lengkap. Hal tersebut membuktikan
bahwa Al-Qura’an adlah wahyu bukan teks Insani karangan Muhammad sebagaimana
yang dituduhkan. Dalam sejarah, Al-qur’an sendiri awalnya bukanlah teks, tetapi
pada hafalan, pada khalifah utsman lah diputuskan satu mushaf Al-Qur’an.
Sehingga kalau dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks, tentu sangat lucu. Dan
yang paling menggelikan adalah ketika Al-Qur’an dalam teks Mushaf mereka
menuduhkan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad.
Pemikiran
yang lain paling rancu adalah memasukan relativisme dalam penafsiran Al-Qur’an
yang menolak adanya otoritas dalam penafsiran Al-Qur’an. Penafsiran semua
bernilai relativ terhadap perkembangan zaman karena ide utamanya adalah mendasarkan bahwa Al-Qur’an merupakan teks sejarah
yang tunduk pada historis dan realitas. Penolakan otoritas ini akhirnya membawa
penafsiran yang serampangan dan siapaun berhak menafsirkan Al-Qur’an meskipun
tanpa ilmu dan kompetensi dalam bidang tafsir. Sehingga tidak aneh akhirnya
penafsiran sesuka hati menuruti hawa nafsu. Sesungguhnya aneh ketika penafsiran
itu menolak otoritas. Logikanya, dalam suatu negara ada sebuah undang-undang ,
maka di negara itu pasti akan ada lembaga yang memiliki otoritas penafsiran
tetap terhadap undang-undang tersebut. Sehingga dalam implemntasimya tidak ada
kerancuan dan keraguan karena terjadi multitafsirnya undang-undang yang ada.
Tentu saja yang boleh menafsirkannya adalah orang yang berkompeten dalam bidang
hukum, tidak mungkin penafsiran itu dilakukan olah orang yang tidak berkompeten
dalam bidang hukum.
Tentang
pemikiran manusia yang relativ, sungguh sangat aneh jika orang semacam Ahmad
Wahib mengatakan kalau semua produk pemikiran manusia adalah relativ. Jika kita
balikkan, berarti orang yang mengatakan bahwa produk pemikiran manusia itu
relativ, berarti penyataan hasil pemikiran orang tersebut juga realtiv. Maka didunia
ini tidak ada nilai yang pasti kebenarannya. Maka tidak semua pemikiran manusia
itu relativ, jika ada pertanyaan 1+1 = 2, semu oarang akan sepakat akan jawaban
itu, kecuali orang yang mengatakan bahwa hasil dua itu adalah relativ.
0 comments:
Post a Comment