Bak Telah
terbit, Buku Kritik Terhadap Abu Zayd
Hidayatullah.com;
Sabtu, 12 Mei 2007
Buku ”Al-Quran Dihujat” mengulas si penghujat
Al-Quran garda depan, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd. Baca Catatan Akhir
Pekan [CAP] Adian Husaini ke-194
Oleh: Adian
Husaini
Bulan Mei 2007 ini,
peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Al-Quran Dihujat”
(Jakarta : GIP).
Buku ini sangat penting dalam perspektif kajian pemikiran Islam di Indonesia
saat ini. Secara umum, buku ini berisi kritik terhadap pemikiran Prof. Nasr
Hamid Abu Zayd, pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa
Al-Quran adalah produk budaya Arab. Dari isi dan literatur rujukannya, tampak
buku ini dipersiapkan cukup serius. Berbagai karya Abu Zayd ditelaah dan
diberikan kritiknya.
Abu Zayd memang
telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian lari ke Belanda. Di
negara kolonial inilah, Abu Zayd diberi tempat terhormat sebagai guru besar
ilmu Al-Quran di Universitas Leiden .
Dari sini pula Abu Zayd mengkader lusinan dosen UIN/IAIN untuk menyebarkan
pahamnya di Indonesia .
Karena itu, tidak
heran, jika hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang paham Liberal
keagamaan di sekitar kampus UIN Yogya menyatakan, bahwa bagi kaum liberal:
”Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad
saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh
Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena
metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.”
Buku-buku Abu Zayd
memang sudah banyak yang diterjemahkan di Indonesia . Dalam salah satu buku
terjemahan karya Abu Zayd berjudul ”Hermeneutika Inklusif” terbitan ICIP, Nash
Hamid Abu Zayd dimasukkan ke dalam ketegori ”pemikir pemberontak” (dissident Muslim
thinkers). Tetapi, ditulis di sini, bahwa ”Julukan pemikir
pemberontak ini tidak dimaksudkan sebagai julukan yang negatif, akan tetapi
ditujukan untuk menamai sebagian kelompok pemikir Islam yang memiliki pemikiran
terobosan dan cenderung melakukan reformasi terhadap status quo pemikiran
Islam. Corak pemikiran seperti itu, tidak hanya dibutuhkan pada masa transisi,
akan tetapi juga sangat dibutuhkan pada masa stabil.”
Itulah penghormatan
terhadap Abu Zayd yang dilakukan oleh sebuah lembaga penyebar paham Pluralisme
Agama pimpinan Dr. Syafii Anwar tersebut. Salah satu pemuja Abu Zayd yang
terkenal adalah Rektor Uin Yogya, Prof. Dr. Amin Abdullah. Itu bisa dilihat
dalam bukunya yang berjudul ”Islamic Studies di Perguruan Tinggi” (2006). Kini,
berbagai kampus di Indonesia
memang sudah mulai dijejali dengan pemuja Abu Zayd. Bahkan,
pendapat-pendapatnya sudah mulai diekspose melalui media massa .
Sejumlah murid
kesayangan Abu Zayd pun sudah menduduki pos-pos terhormat sebagai dosen-dosen
ilmu Al-Quran di UIN Jakarta
dan UIN Yogya. Mereka leluasa mendiktekan pemikirannya kepada para mahasiswa,
dan bahkan berwenang menyusun kurikulum dalam studi Al-Quran yang sejalan
dengan pemikiran Abu Zayd. Kaum Muslimin di Indonesia, banyak yang tidak
menyadari masalah besar ini dan membiarkan anak-anaknya dicekoki paham Abu
Zayd.
Penulis buku ini,
Henri Shalahuddin, yang merupakan alumnus pesantren Gontor Ponorogo dan kini
aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir Jakarta,
berhasil membongkar kekeliruan pemikiran Abu Zayd dan menyimpulkan, bahwa yang
dilakukan Abu Zayd beserta para pemujanya di lingkungan UIN/IAIN lebih
merupakan hujatan terhadap Al-Quran, bukan merupakan kajian ilmiah yang ikhlas
dan serius. Karena itulah, dia tidak ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa apa yang
dilakukan Abu Zayd dan para pemujanya adalah sebuah upaya mengujat dan merusak
Al-Quran.
Menurut penulis
buku ini, dewasa ini, Al-Quran dihujat tidak hanya secara fisik, tapi juga melalui
penyelewengan konsep wahyu dan metodologi tafsir. Penghujatan Al-Quran yang
saat ini marak dilakukan bukan dengan membuang mushaf ke toilet, atau menginjak
dan membakarnya di depan kaum Muslimin. Penghujatan Al-Quran non-fisik,
dilakukan dengan menggunakan ‘metode ilmiah’ yang tidak mudah dipahami dan
disadari oleh kebanyakan kaum Muslimin. Sebab, banyak di antara pelakunya
adalah cendekiawan dengan titel professor, doktor maupun rektor, sehingga
banyak yang kemungkinan mudah tertipu dan menyangkanya sebagai suatu kebenaran
ilmiah.
Dan Prof. Dr. Nasr
Hamid Abu Zayd adalah salah satu garda terdepan penghujat Al-Quran saat ini.
Tokoh liberal kenamaan asal Mesir ini kabur dari negaranya, setelah pengajuan
kepangkatan gelar proffesor ditolak, karya-karyanya dinilai tidak bermutu dan
bahkan cenderung melecehkan ajaran Islam, Rasulullah saw dan Imam Syafii.
Menyusul setelah itu, vonis mahkamah yang memutuskan bahwa dirinya telah
murtad. Dia pun kabur ke Belanda dan di sana
memperoleh penghargaan layaknya seorang pahlawan.
Di samping
memandang Al-Quran sebagai produk budaya, Abu Zayd juga memposisikan Al-Quran
sebatas teks manusiawi (nash insani), teks linguistik (nass lughawi)
dan fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah). Sebagai teks linguistik,
misalnya, Abu Zayd mengklaim bahwa Al-Quran terpengaruh oleh tradisi dan budaya
Arab pra-Islam. Sebab baginya, dengan menggunakan bahasa Arab, berarti wahyu
tidak turun ditempat yg hampa. Ibarat kata pepatah, bahwa bahasa menunjukkan
budaya, maka demikian halnya dengan Al-Quran.
Sebagai teks
manusiawi, kata dia, kebenaran Al-Quran yang bersifat mutlak hanya berada di
lauhul mahfuzh. Namun kebenaran yang mutlak tersebut menjadi relatif ketika
masuk dan berinteraksi dengan akal pikiran manusia. Dengan demikian, seorang Muslim
tidak boleh mengklaim bahwa pemahamannya terhadap Al-Quran lebih benar dari
orang lain, atau bahwa pemahamannya sudah sesuai dengan apa yang dimaui oleh
Tuhan. Karena manusia adalah relatif, maka kebenaran yang dicapainya pun juga
relatif. Sehingga Abu Zayd mengkategorikan orang yang mengatakan bahwa
kebenaran Al-Quran yang dia pahami adalah absolut, berarti telah menyamakan
dirinya dengan Tuhan.
Ide Abu Zayd
tentang teks manusiawi ini, --di samping ide-idenya yang lain--, banyak
diminati dan dipropagandakan oleh para tokoh-tokoh Islam yang menganut pada
paham relativisme kebenaran. Sebuah paham yang mendasari aliran-aliran
liberalisme, sekularisme, feminisme dan pluralisme agama.
Sebagai teks
manusiawi dan teks linguistik sekaligus, Abu Zayd mendudukkan Al-Quran sama
seperti Bibel yang semua isi ajarannya tidak harus diterapkan. ”According to Christian
doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes
Jesus behaved just as a man.” (Abu Zayd, Voice of an Exile: 174-5).
Sehingga tidak
aneh, jika Abu Zayd lalu menggugat pengharaman homoseksual dan mengecam keras
orang yang masih menganggapnya sebagai prilaku menyimpang (voice. hal 89).
Karena menurutnya, haramnya homoseksual lebih karena konteks lokalitas budaya.
Sehingga, di bukunya yang lain, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah,
dia menyeru umat Islam untuk meninggalkan Al-Quran dan Hadits, karena
dianggapnya telah memasung kebebasan akal manusia (hal.146)
Tidak puas
menghujat Al-Quran, Abu Zayd juga menghujat para ulama yang menjunjung tinggi
kewahyuan Al-Quran. Di antara ulama yang dijadikan sasaran hujatannya itu
adalah Imam Syafi’i. Beliau dituduh sebagai ulama oportunis yang suka
bekerjasama dengan penguasa demi mendapatkan dunia. Beliau juga dituduh telah
mengangkat kedudukan hadits, sehingga menjadi kitab nomor dua setelah Al-Quran
di mata kaum Muslimin. Lebih dari itu, Imam Syafi’i juga dituduh menyebarkan
hegemoni suku Quraisy atas suku-suku Arab lainnya dalam agama Islam, terkait
dengan pandangan beliau tentang bahasa Arab Al-Quran.
Dengan keberanian
Abu Zayd dalam menghujat Al-Quran dan Imam Syafii, jangan heran, jika kaum
liberal di Indonesia pun menyambut pendapat Abu Zayd dengan gegap gempita dan
menganggapnya sebagai tokoh hebat. Selain di ruang-ruang kuliah di bangku
UIN/IAIN/STAIN dan sebagainya, para penganut dan pemuja Abu Zayd pun sudah
berani secara terbuka menghujat Al-Quran melalui media massa . Koran Tempo, (4/5/2007 ) menurunkan sebuah artikel
berjudul ”Pewahyuan
Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah”, yang memaparkan bahwa
Al-Quran adalah karya bersama antara Allah, Roh Kudus dan Muhammad.
Sebelumnya, telah
berjubel artikel, buku, makalah seminar dan sebagainya yang cenderung menghujat
Al-Quran. Ternyata jika diteliti, ujung-ujungnya, yang dijadikan rujukan para
penghujat Al-Quran itu adalah Abu Zayd. Bahkan, saat Abu Zayd berkunjung ke Indonesia , di
antara aktivis liberal di Indonesia, ada yang begitu memujanya, sampai-sampai
menuliskan kekagumannya tentang selera makan Abu Zayd dan cara memilih toilet.
(Lihat, buku ”Al-Quran Dihujat”, hal 96). Sebuah alasan yang tidak seharusnya
dilakukan oleh kalangan yang mengidentitaskan dirinya dengan sikap rasional dan
keterbukaan.
Bahaya terbesar
dari penghujatan Al-Quran non-fisik adalah menyesatkan akal pikiran umat Islam
yang hendak kembali pada ajaran Al-Quran dan Hadits secara benar. Sebab konsep
wahyu Al-Quran yang bersifat final dan universal untuk segala tempat dan zaman
akan digeser dengan konsep evolusi Darwin .
Dengan itu, kebenaran Al-Quran hanya bersifat temporal dan lokal, khusus untuk
suatu masa, bangsa dan tempat tertentu. Begitu juga, hukum-hukum Islam akan
dinilai sebagai hukum yang bersifat temporal dan spatial, hanya berlaku untuk
kurun waktu dan tempat tertentu. Maka, mereka rajin membuat perbedaan, bahwa
ajaran dan hukum-hukum Islam harus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan
zaman.
Abu Zayd juga
seorang hermeneut, yaitu pengguna hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran.
Metodologi tafsir Al-Quran yang telah dikembangkan oleh para ulama berwibawa
yang memperhatikan segala aspek dalam memahami Al-Quran digusur dengan
metodologi hermeneutika produk Yahudi dan Kristen. Padahal, metode tafsir
Al-Quran jauh lebih ilmiah, dibanding teori interpretasi hermeneutika yang tengah
dikembangkan neo-orientalis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat
ini. Inilah sesungguhnya salah satu tantangan kontemporer yang terbesar yang
dihadapi umat Islam Indonesia
dewasa ini.
Umat Islam saat ini
memerlukan puluhan ribu hujjatul Islam, syeikul Islam dan generasi Al-Quran
yang memperjuangkan ajaran Islam secara kafah dalam menghadapi perongrongan
global akidah dan syariat Islam. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dalam bab
tanda-tanda ulama baik dan ulama jahat, Imam Ghazali dalam bukunya, Ihya ’Ulumiddin dan
Abu Thalib al-Makki, dalam bukunya, Qut al-Qulub, menjelaskan ragam golongan manusia
dengan menukil pendapat Al-Khalil ibn Ahmad yang mengatakan:
"Manusia itu
empat golongan: 1) orang yang tahu, sedang dirinya tahu (menyadari) bahwa
dirinya tahu, dia itulah si cerdik pandai ('alim), maka ikutilah dia. 2) orang yang tahu,
sedang dirinya tidak tahu (tidak menyadari) kalau dirinya tahu, dia itu ibarat
orang yang tidur, maka bangunkanlah ia. 3) orang yang tidak tahu, sedangkan dia
tahu bahwa dirinya tidak tahu, dialah si pencari pentunjuk (mustarsyid),
maka berilah dia petunjuk (bimbingan). 4) orang yang tidak tahu, sedangkan dia
tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, itulah orang jahil, maka tolaklah
(hindarilah, abaikanlah, atau sangkallah) ia.
Mengembalikan
kejayaan Islam, harus dimulai dari pembangunan budaya ilmu. Adalah sangat
celaka jika ilmu-ilmu agama telah dirusak oleh orang-orang yang menduduki
posisi-posisi terhormat sebagai dosen-dosen bidang Al-Quran di lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Islam. Kita patut meratapi nasib mahasiswa-mahasiswa Islam
yang kini menimba ilmu-ilmu keislaman di berbagai kampus berlabel Islam, karena
dipaksa mengikuti pemikiran-pemikiran yang merusak keyakinan mereka sebagai
Muslim. Al-Quran yang dipahami oleh umat Islam sebagai wahyu Allah yang suci
dihujat oleh agen-agen neo-orientalis seperti Abu Zayd dan para anak buahnya di
Indonesia .
Sementara itu, pemerintah dan pimpinan kampus mendiamkan saja masalah ini.
Maka, kita tidak
perlu heran, jika setiap tahun ribuan orang belajar di fakultas ushuluddin dan
fakultas syariah, tetapi justru dari situ pula muncul sejumlah orang yang aktif
menolak aqidah dan syariah Islam. Dalam bukunya ini, Henri Shalahuddin telah
membuka mata kita akan satu tantangan yang sangat besar yang dihadapi oleh umat
Islam. Dia pun memberikan jawaban-jawaban yang jitu yang menunjukkan dimana
kelemahan pendapat Abu Zayd dan pemujanya di lingkungan UIN/IAIN saat ini.
Semoga buku ini memberi manfaat besar dalam pengembangan studi pemikiran dan
peradaban Islam di Indonesia. Juga, semoga para pemuja Abu Zayd bertobat dari
kekeliruannya dan menghentikan aksi-aksinya dalam menghujat Al-Quran. Tugas
kita hanyalah mengingatkan. Masing-masing kita bertanggung jawab atas amal kita
masing-masing. [Depok, 11 Mei 2007/www.hidayatullah.com]
Catatan
Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta
107 FM dan www.hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment