malam begitu sunyi, suara jangkrik dan hewan - hewan malam bersahutan meramaikan galapnya malam ini. tak terlihat lalu lalang manusia dalam aktivitasnya, mungkin semua telah letih kerja di siang tadi. hanya dari beberapa surau terdengar suara samar - samar lantunan ayat - ayat al - quran. suara khas anak kecil yang oleh guru ngajinya disuruh taddarus. Entah mengapa malam ini begitu sunyi tak seperti biasanya, sepertinya keletihan pada siang telah menggulung semua orang dalam kealpaan dan ketidak sadaran akan nikmat - nikmat yang telah Allah turunkan hari ini.
oh, ternyata malam ini tepat hilal diufuk timur. bulan kecil pertanda tanggal baru. bukan, ternyata hari ini tidak hanya tanggal baru. lebih dari itu, tahun ini merupakan tahun baru. sungguh momentum pergantian tahun ini tidak dapat dirasakan. tidak ada kemeriahan dalam penyambutannya. tidak ada pesta dan sorak sorai melihat hilal tanda kebesaran - NYA. Bahkan tidak ada orrang - orang yang sekedar berkumpul untuk mensyukuri bergantinya perhitungan tahun. semua tenggelam dalam rutinitas hingga tidak ada lagi yang peka akan keadaan dan kejadian disekelilingnnya. mungkin kecuali anak - anak kecil yang disuruh guru ngajinya untuk tadaraus di surau kecil, karena jika tidak mau akan tidak dinaikan tingkat ngajinya. mungkin anak kecil itupun juga tidak sadar akan guna bacaan tadurus yang tidak biasa. Bukankah biasanya ngajinya hari Kamis malam ? ini hari sabtu malam malah ngaji. memang tanggal 1 Muharram, hilal pergantian tahun ini tidak menarik dibandingakan hilal 1 Ramadhan atau 1 Syawal.
Mengapa bisa seperti ini ? apakah memang semua sudah tidak ada merasa bahwa tahun telah berganti ? apakah semua tidak lagi memaknai tahun baru islam ini ?. Apakah aktivitas telah menggulung mereka dalam kesibukan hingga kepekaan ? atau memang budaya telah bergeser untuk mengikuti budaya hedonis dalam perayaan tahun baru masehi ?
Mungkin pernyataan terakhir lebih kuat, gaya masyarakat yang konsumtif cendrung hedonis dalam perayaan tahun baru Masehi telah menggiring umat muslim untuk ikut larut dalam kelompok mereka. Melupakan Tahun baru Hijriyah dan ikut berpesta dalam Tahun baru masehi. Pemikiran kita telah dituntun untuk melupakan makna tahun baru hijriyah. Mereka di"paksa " untuk menanggalakan identitas dan merasa malu dengan identitas " Perayaan Tahun Baru Hijriyah ". Padahal ada makna besar dalam tahun baru hijriyah, yaitu memaknai peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW. Akan sangat luar biasa sekali jika semua orang mampu memaknai Hijrah tersebut. Sebab semua keadaan yang buruk hari ini akan berganti dengan kebaikan. sebagaimana hijrahnya Nabi SAW, Mengubah keadaan Jahiliyah dengan cahaya islam.
itulah makna yang coba dikaburkan, agar semua jauh dari meneladani uswah hasanah Nabi SAW. sehingga makna yang kabur itu akan segera diganti dengan makna yang " jahiliyah " saat bangsa Romawi berkuasa. Tanggal 1 januari sangat identik dengan kaum paganis penyembah berhala dan dewa - dewa. Nama " Januari " adalah nama salah satu dewa, dewa Janus. Dewa yang memiliki dua wajah yang yang konon mampu meneropong masa depan dan masa lalu. Ternyata memang perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut. Perayaannya pun tidak lepas dari penyembahan dewa - dewa yunani kuno yang telah berganti nama. Apakah kita akan mengitui langkah - langkah orang - orang terdahulu penyembah berhala yang sesat ? atau sekarang kita telah membuat " berhala - berhala " baru dalam perayaan tahun baru masehi sehingga membuat kita semakin jauh dengan Allah ?
Maka sangat bijak pesan Rasullallah SAW, " Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar ). dan pesan ulama' tentang menyelesihi perbuatan suatu kaum musyrik, Ibnu Taimiyyah berkata, “Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyari’atkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidhaa Ash-Shiraathil Mustaqiim 1/473)
0 comments:
Post a Comment