Spertinya aku kenal rumah itu, sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagi ingatan ku. Sebab aku pernah menjadi bagian dari orang-orang yang sekedar berteduh di bawah atapnya. Menikmati secangkir teh hangat dan sedikit camilan sambil menunggu hujan reda serta giliran orang yang akan menggantikan ku menempati rumah ini. Tentu saja aku tak sendiri, ada banyak orang yang sama dengan ku disini. Berteduh menunggu giliran. Kami hanyalah orang yang ditakdirkan menjadi bagian orang-orang yang dipergilirkan menempati rumah ini. Aku hanya menggantikan orang-orang sebelum ku. Mereka yang sebelum ku juga hanya menggantikan. Entah aku ini orang keberapa yang duduk dibawah atap keharmonisan, dalam hangatnya kekeluargaan saat badai di luar sangat menyeramkan. Meski kami awalnya tidak saling kenal dalam perjalanan. Namun, di bawah rumah ini kami semua seperti saudara dalam satu keluarga.
Rumah ini menjadi saksi canda tawa, senyum bahagia, tangis duka dari semuanya. Keluarga sementara dan semoga kelak menjadi tetangga di surga. Biar kami bisa menyapa meski berada di bawah atap yang berbeda. Sebab kata orang-orang sebelum kami yang meninggali rumah ini, “rumah ini kuat berdiri karena dibangun dengan material rasa saling percaya antar penghuninya yang diikat kuat oleh kasih dan sayang”. Memang bukan mengada-ngada, sebab kami telah membuktikannya. Terkadang rumah ini juga masih dikunjungi oleh orang-orang sebelum kami. Meski hanya menyapa, itu sudah luar biasa. Sebab itu bukti, bahwa mereka masih peduli dengan rumah yang pernah menjadi kenagan bagi mereka.
Kini aku sedang berdiri di depan rumah itu, menatap dengan penuh keheranan. Sebab rumah itu sudah tak lagi seperti saat aku singgah di dalamnya. Sekarang aku keheranan, rumah yang dulu ku banggakan sekarang temboknya miring seperti rumah yang sudah lama tak terhuni. Masuk ke dalamnya menjadi penuh keraguan, apakah ini rumah yang dulu pernah tak tempati?, Tanya Ku dalam hati Untuk sekedar menghilangkan keheranan.
Ternyata memang benar, ini adalah rumah yang pernah tak tempati. Bisa dilihat dari simbol-simbol yang ada di dindingnya. Para penghuninya juga melakukan aktifitas yang sama, minum teh sambil bercengkrama ditemani camilan hangat. Tapi aku masih saja keheranan. Kenapa mereka memakai topeng?. Topeng senyum, marah, sedih.. Mereka saling bercengkrama tapi dalam kata di terbalik makna. Bercengkrama yang terkadang kayak orang gila karena yang lain tidak lagi disana.. Ngoceh sendiri. Rumah ini sekarang mirip panggung sandiwara, semua memainkan peran yang tidak asli jiwa mereka.
ku urungkan niatku tuk lebih lama sekedar jalan berkeliling melihat isi rumah. ku percepat langkah ku sambil terus berharap, sandiwara itu berakhir sebelum mereka beranjak dari kursi mereka masing-masing.
Ahad, 16 November 2014
0 comments:
Post a Comment