sebuah catatan dari Ahmad Mudzoffar Jufri Full
BERIMAN DENGAN AKIDAH DEMOKRASI?
YA ENGGAK LAH!
YA ENGGAK LAH!
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu 'ala Sayyidina Rasulillah, amma ba'du:
Seringkali terdapat kerancuan atau paling tidak ketidakjelasan dalam tashawwur, persepsi dan penyikapan banyak kalangan ummat Islam termasuk para aktivis dakwahnya terhadap istilah demokrasi, yang berakibat pada jauhnya jarak perbedaan, perselisihan dan pro-kontra antara berbagai kelompok ummat dalam penyikapan mereka terhadap demokrasi ini. Oleh karena itu penting sekali adanya kejelasan dan penjelasan tentang makna-makna dan muatan-muatan istilah demokrasi ini sesuai dengan konteks penggunaan dan pemakaiannya, agar penyikapan terhadapnya bisa lebih proporsional. Dan secara umum dalam pemakaian dan penggunaannya, mungkin ada tiga muatan makna dan pengertian utama dari istilah demokrasi ini yang perlu dipahami, sebagai berikut:
Seringkali terdapat kerancuan atau paling tidak ketidakjelasan dalam tashawwur, persepsi dan penyikapan banyak kalangan ummat Islam termasuk para aktivis dakwahnya terhadap istilah demokrasi, yang berakibat pada jauhnya jarak perbedaan, perselisihan dan pro-kontra antara berbagai kelompok ummat dalam penyikapan mereka terhadap demokrasi ini. Oleh karena itu penting sekali adanya kejelasan dan penjelasan tentang makna-makna dan muatan-muatan istilah demokrasi ini sesuai dengan konteks penggunaan dan pemakaiannya, agar penyikapan terhadapnya bisa lebih proporsional. Dan secara umum dalam pemakaian dan penggunaannya, mungkin ada tiga muatan makna dan pengertian utama dari istilah demokrasi ini yang perlu dipahami, sebagai berikut:
1. Demokrasi dengan mafhum (pengertian) dan muatan akidah dan ideologi, dimana segala sesuatu dalam kehidupan ini – menurut ideologi demokrasi – ditentukan oleh suara rakyat, baik seluruhnya maupun sebagian besarnya, termasuk dalam hal halal dan haram, yang boleh dan yang terlarang, yang diterima dan yang ditolak, dan seterusnya. Untuk demokrasi dengan muatan akidah dan ideologi ini tentu saja wajib kita tolak, kita ingkari dan kita kufuri, karena ia memang merupakan salah satu bentuk ideologi kufur dan representasi dari thaghut modern. Dan untuk sikap ini kami yakin telah terjadi ijma' dan kesepakatan di antara seluruh kelompok ummat Islam. Jadi tidak mungkin terjadi perbedaan dan perselisihan dalam masalah prinsip yang sejelas ini. Karena masalah ini memang termasuk yang telah ma'lum minad-diini bidh-dharurah (masalah agama yang telah diketahui secara aksiomatik tanpa perlu dalil lagi). Oleh karena itu jika ada dari kalangan ummat Islam, khususnya para ulama, kyai, ustadz, dan aktivis dakwah, yang menyuarakan, menyerukan dan mendukung demokrasi, maka sama sekali itu bukanlah berarti bahwa, mereka telah beriman dengan demokrasi sebagai akidah pengganti akidah Islam!
2. Demokrasi yang dipahami, dimaknai dan digunakan dengan mafhum dan pengertian kebebasan (al-hurriyyah), keterbukaan dan musyawarah. Ini adalah makna umum yang dipahami dan dimaksudkan oleh mayoritas masyarakat dalam penggunaan istilah dan kata demokrasi. Sebagaimana sering kita dengar ungkapan seperti ini misalnya: Keluarga si fulan adalah keluarga yang demokratis. Atau: Organisasi A adalah organisasi yang demokratis. Atau juga: Rapat berjalan baik karena suasananya cukup demokratis. Dan ungkapan-ungkapan lain yang semacam itu. Dimana sangat jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan kata demokrasi atau demokratis disitu adalah makna kebebasan berpendapat, keterbukaan dan musyawarah. Dan sama sekali tidak terbersit sedikitpun makna dan muatan ediologis dari kata demokrasi. Dan karena demikian dominannya makna kebebasan, keterbukaan dan musyawarah tersebut sampai-sampai tidak sedikit dari kalangan ummat Islam dan bahkan ulamanya yang memahami istilah demokrasi hanya dengan makna dan pengertian ini saja. Oleh karenanya tidak heran jika ada yang lalu menyamakan konsep demokrasi itu dengan konsep syura di dalam Islam. Dan makna inilah umumnya yang dituju dan dimaksudkan ketika para ulama, kyai, ustadz dan aktivis dakwah Islam menyebut-nyebut kata dan istilah demokrasi. Dan pada prinsipnya tidak ada masalah dengan arti kebebasan dan keterbukaan ini, tinggal tergantung siapa yang menggunakannya dan bagaimana memanfaatkannya saja.
3. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik atau sistem pemerintahan, yang secara fakta, karena berasal dan diadopsi dari barat, tentu memadukan antara muatan ideologi dan makna kebebasan di atas. Nah penyikapan kita terhadap sistem politik dan pemerintahan demokrasi ini berkisar antara:
a. Mauqif ’aqadi fikri (sikap ideologis normatif) berupa penolakan dan pengingkaran minimal dengan hati;
b. Mauqif waqi’i (sikap realistis) berupa pengakuan terhadapnya sebagai fakta dan realita (i’tiraf waqi’i), dan bukan pengakuan penerimaan atau pembenaran (i’tiraf tashdiqi);
c. Mauqif da’awi wa siyasi (sikap dakwah dan politik) berupa upaya optimal untuk memanfaatkan aspek-aspek positif dari sisten demokrasi dan memasuki kanal-kanal kebebasan dan keterbukaan yang disediakannya untuk kemaslahatan dakwah dan kepentingan ummat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dulu, khususnya pada periode dakwah di Makkah, senantiasa berusaha secara optimal dan maksimal – di tengah-tengah masyarakat musyrik dan sistem kehidupan jahiliyah murni – untuk memanfaatkan setiap celah, peluang dan kesempatan untuk menyampaikan risalah Allah dan dakwah Islam! Dan bukankah kebebasan dan keterbukaan seperti yang disediakan oleh sistem demokrasi itu pulalah yang dulu diharapkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan perjanjian shulhul-hudaibiyah yang sebenarnya banyak mengandung kerugian dan kemadharatan bagi kaum muslimin saat itu? Namun karena kemaslahatan-kemaslahatan yang diharapkan dengan tersedianya kebebasan dan keterbukaan melalui perjanjian itu, jauh lebih besar dan lebih banyak, maka aspek kerugian-kerugian dan kemadharatan-kemadharatanpun dikalahkan! Bahkan begitu besar dan banyaknya kemaslahatan tersebut bagi Islam dan dakwahnya, sampai-sampai Allah Sendiri menyebut perjanjian itu dan yang dihasilkannya dengan ”fathan mubina” (kemenangan yang nyata) !
b. Mauqif waqi’i (sikap realistis) berupa pengakuan terhadapnya sebagai fakta dan realita (i’tiraf waqi’i), dan bukan pengakuan penerimaan atau pembenaran (i’tiraf tashdiqi);
c. Mauqif da’awi wa siyasi (sikap dakwah dan politik) berupa upaya optimal untuk memanfaatkan aspek-aspek positif dari sisten demokrasi dan memasuki kanal-kanal kebebasan dan keterbukaan yang disediakannya untuk kemaslahatan dakwah dan kepentingan ummat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dulu, khususnya pada periode dakwah di Makkah, senantiasa berusaha secara optimal dan maksimal – di tengah-tengah masyarakat musyrik dan sistem kehidupan jahiliyah murni – untuk memanfaatkan setiap celah, peluang dan kesempatan untuk menyampaikan risalah Allah dan dakwah Islam! Dan bukankah kebebasan dan keterbukaan seperti yang disediakan oleh sistem demokrasi itu pulalah yang dulu diharapkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan perjanjian shulhul-hudaibiyah yang sebenarnya banyak mengandung kerugian dan kemadharatan bagi kaum muslimin saat itu? Namun karena kemaslahatan-kemaslahatan yang diharapkan dengan tersedianya kebebasan dan keterbukaan melalui perjanjian itu, jauh lebih besar dan lebih banyak, maka aspek kerugian-kerugian dan kemadharatan-kemadharatanpun dikalahkan! Bahkan begitu besar dan banyaknya kemaslahatan tersebut bagi Islam dan dakwahnya, sampai-sampai Allah Sendiri menyebut perjanjian itu dan yang dihasilkannya dengan ”fathan mubina” (kemenangan yang nyata) !
Dan dalam konteks inilah harus dipahami dan dimaknai setiap sikap dan statemen para aktivis dakwah dan khususnya para ulama yang menyatakan dukungan atau pembelaan terhadap sistem demokrasi. Begitu pula ketika mereka menyatakan lebih memilih sistem politik demokrasi misalnya, maka jangan ada yang memahami mereka membandingkannya dengan sistem Islam. Karena Islam, bagi kaum mukminin dan khususnya para aktivis dakwah, tidak boleh dibanding-bandingkan dengan sistem lain manapun. Namun perbandingan yang dilakukan adalah antara sistem politik dan pemerintahan demokrasi dengan sistem-sistem politik non islami lain yang secara riil sama-sama eksis sekarang, seperti sistem monarkis (kerajaan), sistem diktatoris, sistem komunis sosialis, dan lain-lain. Sehingga babnya sekali lagi adalah bab ta’amul ma’al-waqi’ (bersikap dan berinteraksi dengan realita yang ada). Dan perbandingan yang dilakukanpun berupa perbandingan antara waqi’ (realita) satu dengan waqi’ (realita) yang lain. Jadi dengan begitu seharusnya mudah dipahami bahwa sebenarnya ”pilihan” sistem demokrasi yang disuarakan oleh kalangan ulama, kyai, ustadz dan aktivis dakwah Islam, bukanlah pilihan idologis normatif yang bersifat sukarela, melainkan pilihan realistis yang diambil berdasarkan kaidah prinsip muwazanat (pertimbangan/perbandingan) antara maslahat dan madharat. Wassalam.
0 comments:
Post a Comment